Thursday, May 29, 2014

Mishka dan Panon Hideung

Sejak mengajar di SMART EI, saya sangat jarang nonton acara televisi (TV), karena memang tidak punya pesawat TV :) Dengan kondisi ini, saya terlambat berkenalan dengan tokoh kartun lucu yang tahun lalu mulai muncul di sebuah saluran televisi swasta nasional.

Hanya sekali, beberapa bulan lalu saat sedang mengacak-acak saluran televisi milik ayah, saya sempat melihat aksi kocak seorang anak kecil tengil dan beruang coklat sahabatnya dalam bahasa yang kedengarannya antah berantah. Itu pun sudah menjelang akhir cerita di mana kemudian muncul credit title dalam aksara cyrilic. Jadi saya tidak tahu banyak hal, selain kartun itu merupakan produksi Rusia berjudul  Маша и Медведь, alias "Masha y Medved", dan judulnya itu sudah dibahasainggriskan menjadi "Masha and the Bear".

(Oooo, ternyata "medved" itu artinya "beruang"? Berarti Presiden Rusia sebelum Pak Vladimir Putin sekarang ini, yaitu Pak Dmitry Medvedev, keturunan beruang? :p *ngelantur)


Si tengil Masha dan si beruang Miskha

Di pertengahan Mei ini, ada status seorang teman di sebuah media sosial menyebut duo ini. Saya pun teringat pada episode yang saya tonton dulu, saat Masha dan Miskha main sihir2an. Segera saya andalkan situs youtube untuk mencari rekaman kartun ini. Berhasil dengan sukses, saudara2, dan saya kembali tergelak dengan tingkah polah Masha menguji kesabaran Mishka. Sekian episode saya tonton, hingga tiba sebuah episode di mana Masha mengajak Mishka untuk memilih lagu cadas ketimbang lagu melankolis bilamana ingin memikat perhatian beruang betina dambaannya.

Miskha bergitar menyanyikan lagu untuk pujaan hatinya

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan lagu yang dibawakan Miskha dengan mata berbinar itu. Saya terlalu terkesima melihat wajah sang beruang jantan itu begitu kecewa saat  lagu pilihannya malah membuat sang betina melengos pergi. Kasihaaan... Sudah berusaha memainkan lagu "Panon Hideung" dengan penuh perasaan, eh malah diabaikan... hiks...

Eh, apa itu tadi?
Panon hideung?
Lagu sunda tea?

*langsung fokus
*nonton ulang mulai adegan awal: Miskha menyiram kembang - beruang betina lewat - Miskha ambil gitar - menyanyikan nada lagu... eh... Panon Hideung....!

Jeng.. jeng.. jeng...!
Saya teringat pernah membaca sebuah artikel di koran beberapa waktu lalu, yaitu liputan tentang sekelompok seniman musik Indonesia mendapat kesempatan berpentas di Rusia. Salah satu nomor yang mereka tampilkan adalah lagu yang di Indonesia dikenal sebagai lagu dari tatar Sunda, yaitu "Panon Hideung". Ternyata lagu itu mendapat sambutan luas dari penonton Rusia, karena ternyata lagu itu juga sudah turun temurun merupakan lagu rakyat mereka!


Dalam bahasa Rusia, lagu ini berjudul Очи чёрные (Ochi chyornye), yang artinya nyaris sama dengan Panon Hideung, yaitu si Mata Hitam. Bagaimana ya sebuah lagu berbahasa Sunda bisa jadi lagu rakyat Rusia? Buat saya, jadilah teka-teki ini sebagai sebuah tantangan bagi para siswa di kelas saya di SMP SMART EI yang sedang mempelajari materi globalisasi.

Sebelum saya bawa si mata hitam ini ke dalam kelas, saya cari dulu informasi yang mendukung. Untung ya sekarang sudah era global, maka berbagai informasi mudah didapat. Anda juga bisa mendapat informasi yang sama, atau bahkan beda. Di antaranya bahwa lirik lagu Panon Hideung memang dibuat oleh seniman besar kita Ismail Marzuki tahun 1920-an. Namun lagunya memang sudah dari Rusia sana, sudah muncul sejak abad ke-19, sebagai musikalisasi dari puisi Ochi chyornye, yang sebenarnya juga terjemahan pula dari bahasa Ukraina. Hehe... lumayan berliku, ya?


Ismail Marzuki dan istrinya, Eulis Zuraidah, inspirasi "penyundaan" Ochie chornye (foto dari Kaskus.co.id
Berikutnya, di awal pembelajaran pada hari Kamis (22/5) pagi, sambil berdoa agar sambungan wifi internet sekolah berjalan dengan lancar, saya pun bertanya, "Siapa yang suka kartun Masha and the Bear?"


Wiiih, banyak sekali yang mengacungkan tangan kanan mereka. "Saya selalu nonton waktu pulang kampung kemarin, ustadzah," seru beberapa dari mereka.  Yak, baiklah, kita nonton Masha dulu.


"Horeee..." serentak semua bersiap. Ada yang mematikan lampu kelas, ada yang langsung bersila di kolong meja terdepan. Bismillah, saya hubungkan laptop ke youtube, dan terputarlah episode "Hit of the Season" dari serial Masha yang legendaris (buat saya) itu :p

 
Episode selesai, wajah para siswa terlihat penuh senyum melihat kemalangan Miskha, dan wajah ustadzah Vera terlihat galau karena tidak ada tanda2 seorang siswa pun mengenali si Panon Hideung. Waduh gawat ini... Lanjut ke langkah berikut setelah lampu kelas dinyalakan kembali.


"Siapa yang bisa melihat hubungan budaya antara orang Sunda dan orang Rusia?"
Bergantian mereka menjawab: gitarnya, musik rock-nya, cara merayu cewek-nya (#eh)...

"Siapa yang tahu lagu yang dimainkan oleh Miskha?" tanya saya lagi, kali ini pandangan saya khusus menyasar siswa2 yang bahasa ibunya adalah Sunda, dari 22 siswa di kelas ini. Ada Insan, Harsa, Ghifar, dan Ibnu. Mereka menggeleng. Duuuh, makin gawat.

Terpaksa sepagi ini suara emas saya harus keluar. "Nana... nana... nana nana... Nana nana.... nana nana..." (mohon dibaca sambil mengambil nada Panon hideung/ochi chornye/dark eyes/les eux noirs ya...). Mulai terlihat hasilnya. Wajah Ibnu putra Ciamis tampak berpikir keras, Insan jejaka Bandung mulai ribut sendiri, "Itu.... itu... lagu itu..." tapi tidak ada kesimpulan, hehe... Sedangkan Harsa asal Bojonggede dan Ghifar yang keturunan Kuningan itu tak menunjukkan ekspresi pengenalan lebih lanjut.

"Ayo, lagu apa itu? Mata hitam?" saya memberi tambahan sontekan. Alhamdulillah, gol! "Panon hideung," cetus Ibnu. Wajahnya langsung semringah bak melepas suatu beban berat. "Oooo..." yang lain menyusul. "Emang kayak pernah dengar, sih," tambah yang ingin berpartisipasi. Saya minta Ibnu dan Insan menyanyikan sedikit lagu Sunda itu agar putra2 daerah SMART yang lain bisa tahu lagu Sunda ini. Mereka menyanyi malu2 dan terputus2, padahal teman2 mereka juga nggak tahu artinya ;)

"Kok bisa, ya, lagu ini dinyanyikan oleh beruang Rusia?"
Karena lagunya ngetop. Karena bahasa Sunda tu keren...

Oke, sebelum warga Sunda jadi makin narsis, diskusi akan dilanjutkan besok. "Nanti malam, tolong tanya pada ustad di asrama yang paham bahasa Sunda, siapa yang sebenarnya menyanyikan lagu ini: orang Sunda atau orang Rusia?" pesan saya sebelum para siswa pindah ke kelas berikutnya.


Saya cetak artikel yang saya pilih mengenai asal-mula kemunculan lagu ini, lalu saya tempel di mading depan kelas. Esoknya, alhamdulillah, banyak siswa menyempatkan membaca informasi ini sebelum menjumpai saya di kelas. Jadi saat diskusi dimulai, mereka punya data dan banyak pertanyaan seputar mengglobalnya suatu produk budaya dari satu tempat ke tempat lain.


Bagaimanapun, masih ada yang belum percaya bahwa dalam dunia per.matahitam.an, seniman kita mengambil karya seniman lain. Aiiih, ya sudah. Kita bandingkan saja dua versi lagu ini.


Pertama versi Rusia. Lagu ini sampai dinyanyikan oleh paduan suara tentara, berarti lagu ini dianggap sangat serius oleh mereka. Percaya, nggak? Kalau belum, silakan klik tautan pada foto di bawah ini.


Paduan suara Angkatan Darat Tentara Merah Rusia menyanyikan "Ochi Chernye" alias "Panon Hideung" versi Rusia (foto dari youtube.com

Para siswa cukup terpaku menikmati video ini, termasuk menikmati senandung "Nana nana..." dari kelompok paduan suara sebelum sang solis beraksi dengan suara tenornya. Dan yang berikut ini, versi Sunda, juga saya putarkan. Sengaja saya pilih versi yang cukup jadul, konon direkam tahun 1950-an. Malah bukan video, hanya rekaman suara artis serbabisa Bing Slamet. Tetap saja sepanjang lagu, siswa2 tetap betah menatap proyeksi wajah tersenyum lebar ayah pemain sinetron Adi Bing Slamet itu.
Rekaman suara Bing Slamet menyanyikan Panon Hideung (foto dari youtube.com)

Kalau dalam versi Rusia tadi ada chorus "Nana nana...", hiburan dalam versi Sunda ini adalah chorus "Aa... aaa" setiap Bing Slamet menyelesaikan satu baris lagu. Alhasil, jadi ada paduan suara "Aa aaa.." tambahan hari ini :) Senangnya, belajar globalisasi sambil bernyanyi walau hanya satu silabel saja, huehehe...

Diskusi mengenai penyebaran unsur budaya global a la Mishka dan Panon Hideung tidak berhenti di situ. Kemarin, ulangan harian saya adakan sebagai evaluasi pemahaman. Dalam soal uraian saya minta mereka menjelaskan aspek globalisasi budaya terkait dengan Panon Hideung dan Ochi Chornye. Rupanya soal ini sangat menyenangkan buat mereka, karena mereka kerjakan sambil bernyanyi "Aaa... aaa..." dan sambil digubah dalam versi daerah masing2.

Moto ireng (aa... aaa...)
Pipi kuniang (aa... aaa...)
Irung mancung (aa... aaa...)
Putri Banjar.... --> Banjar di sini merujuk pada Banjar Baru, Kalimantan Selatan daerah asal sang penggubah :)



Ulangan dan penyampaian materi yang begitu seru! Tahun depan, bakal pakai lagu apalagi, ya?

Wednesday, May 28, 2014

Belajar Menjadi Undagi Abad 21

un·da·gi kl n tenaga ahli

Definisi di atas datang dari laman KBBI daring milik Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI. Kata ini tidak asing bagi orang yang mempelajari ilmu sosial di tingkat sekolah menengah, karena merupakan bagian materi kehidupan masa praaksara pada pelajaran IPS Terpadu kelas VII dan Sejarah kelas X. Salah satu periode dalam masa praaksara adalah zaman logam,yaitu saat manusia pendukung kehidupannya sudah mampu memanfaatkan logam untuk membuat produk pendukung kehidupan mereka. Karena saat itu mereka menguasai teknik peleburan dan pencetakan benda2 logam, tak kalah pandai dengan keahlian para pandai besi zaman sekarang, maka masa ini disebut pula sebagai zaman perundagian.

Jika hanya belajar membaca definisi dan melihat contoh pada gambar di buku atau internet, mempelajari kehidupan masa perundagian ini tidak ada gregetnya. Kita masih berjarak puluhan ribu tahun dengan masa lampau tersebut. Maka kami di SMP SMART EI membuat terobosan, dengan belajar menjadi undagi!

Selasa (29/4), pada awal pertemuan di dalam kelas, saya beri sedikit pengantar mengenai kebudayaan manusia praaksara, terutama yang dikenal di wilayah Nusantara. Mulai dari zaman batu tua, batu madya, batu muda, batu besar, dan tidak ketinggalan zaman logam. Bagaimana para ahli logam masa itu membuat hasil2 kebudayaan menggunakan logam, yaitu dengan teknik bivalve dan a cire perdue, juga saya jelaskan. Sekarang, saatnya kita mencoba teknik yang sama untuk menjadi undagi di abad ke-21.

Saya membagi kelas dalam empat kelompok, lalu kami bersama2 menuju halaman tengah, yang lebih dikenal sebagai Taman Bundar. Kepada masing2 kelompok, saya berikan sebongkah tanah liat, untuk menciptakan cetakan kreasi mereka. Kalau di teknik asli milik manusia purba, pertama ada bentuk yang lebih dulu dibuat dengan menggunakan lemak hewan yang mudah dibentuk, dilapis tanah liat, kemudian dipanaskan. Saat lemak itu mencair dan mengalir keluar dari lubang yang dibuat pada tanah liat, maka tercipta bentuk kosong di dalamnya. Nantinya ke dalam cetakan tanah liat yang berongga itu akan dituangkan logam cair, yang berikutnya akan mendingin dan menjelma bentuk dari logam yang diinginkan. Pada saat itu tanah liat pun dipecahkan hingga muncul benda logam sesuai cetakannya.

Kelihatannya mudah sekali, kan? Sayangnya kami sulit mendapat lemak serupa itu atau bahan pengganti yang setara. Sebelumnya saya sudah mencoba memakai lilin lampu biasa yang mudah meleleh, tapi ternyata cepat mengeras dan sulit dibentuk. Kemudian plastisin yang mudah dibentuk pun dicoba, dan ternyata sulit dilelehkan. Apa boleh buat, para siswa pun saya minta langsung membuat cetakan berongga dengan tanah liat tanpa mengikuti bentuk lilin terlebih dahulu.




Kelompok-kelompok mempersiapkan aneka bentuk cetakan tanah liat

Tiap kelompok menyelesaikan cetakan mereka. Beragam bentuk mereka buat. Dari mata tombak, miniatur kujang, kupu2, daun, hingga model perhiasan. Cetakan tanah liat ini dikeringkan agar bisa digunakan untuk mencetak logam keesokan harinya.

Dan esok pun tiba. Kali ini ruang belajar kami berpindah ke laboratorium IPA, di mana "alat2 memasak" telah disiapkan, yaitu kompor, wajan tanah liat, dan sendok panjang dari tempurung kelapa (yang tadinya simpanan dapur ibu saya di rumah, hehe...). Wajan dan sendok ini memang dipersiapkan khusus karena yang hari ini akan kami "masak" adalah timah, yang tentunya tidak cocok jika dipanaskan di wajan dan sendok logam. Tak lupa sarung tangan karet yang tebal pun disiapkan untuk kelancaran proses belajar ini.

Peralatan tempur dan amunisi: wajan tanah liat, sendok tempurung kelapa, dan timah batangan.

Waktu belajar tiba. Para siswa memasuki lab dan mempersiapkan cetakan mereka. Saya beri arahan, dan mereka siap beraksi! 


Serunya mencairkan timah dan menuangkannya dalam cetakan

Sudah terlihat serunya? Pasti dong. Dan kelanjutan keseruan belajar jadi undagi ini akan kita lanjutkan di cerita berikutnya ya...

Friday, May 23, 2014

Pengumuman Seleksi Nasional Beasiswa SMART Ekselensia Indonesia 2014/2015

Siswa SMART Ekselensia Indonesia dalam kunjungan di Sekretariat ASEAN, Juni 2013 (foto oleh Uci Febria)


Bismillahirrahmanirrahim

Rapat panitia penentuan akhir Seleksi Nasional SMART Ekselensia Indonesia untuk tahun ajaran 2014/2015, pada tanggal 16 Mei 2014 memutuskan nama2 berikut ini sebagai calon siswa angkatan 11 SMART Ekselensia Indonesia, beserta provinsi asalnya:
  1. Iqbal Hidayat Pulungan (Sumatera Utara)
  2. Syukur Hamdan D. (Sumatera Utara)
  3. Dimas Al Bukhori R.M. (Sumatera Barat)
  4. Fadhilah Ardi (Sumatera Barat)
  5. Farhan Kurniawan (Sumatera Barat)
  6. M. Arif Ramadhan (Sumatera Barat)
  7. Zainudin Aris (Sumatera Barat)
  8. M.Yazid Habiburahman (Sumatera Selatan)
  9. Amar Ma'ruf (Bangka Belitung)
  10. Muhammad Syarif (Lampung)
  11. Septian Dwi Pangestu (Lampung)
  12. Ahmad Fauzan Najy (Jabodetabek)
  13. Aji Tri Hartono (Jabodetabek)
  14. Apriadin (Jabodetabek)
  15. Haikal Ramadhan (Jabodetabek)
  16. Laksamana Khatulistiwa (Jabodetabek)
  17. Thorik Saefullah (Jabodetabek)
  18. Syeh Nur Maulana (Jabodetabek)
  19. Muhammad Ramdan (Jawa Barat)
  20. Alfian Fathan Mubina (Jawa Tengah)
  21. Yahya Hidayat (Jawa Tengah)
  22. Usamah Ahmad Ismail (Jawa Timur)
  23. Muhammad Misriannur R. (Kalimantan Selatan)
  24. Edy Kurniawan (Nusa Tenggara Barat)
  25. Imammudin (Nusa Tenggara Barat)
  26. Muzakir (Nusa Tenggara Barat)
  27. Nuzulul Hidayat (Nusa Tenggara Barat)
  28. Rafli (Nusa Tenggara Barat)
  29. Sahrul Mubaraq (Nusa Tenggara Barat)
  30. Wisnu Fathul Munir (Nusa Tenggara Timur)
  31. Muhammad Vito Bada'un (Sulawesi Tengah)
  32. Rifandi Iyada (Sulawesi Tengah)
  33. Muhammad Farhan Saputra (Sulawesi Tenggara)
  34. Tito Alfianto Yahya (Sulawesi Tenggara)
  35. Muhammad Ghifari Shafa (Papua)
Persiapan kedatangan calon siswa di kampus SMART Ekselensia Indonesia sekitar awal Juli 2014 akan diinformasikan oleh panitia daerah masing2 dalam pekan ini.

Selamat kepada generasi kesebelas penerus kegemilangan SMART EI. Semoga menjadi angkatan yang berkah dan bermanfaat bagi umat dan bangsa :)