Friday, October 31, 2014

Liputan Aktual dari Desa Jampang (Bagian 1)

Sekolah kami, SMART Ekselensia Indonesia tidak termasuk sekolah yang menjadi percontohan dan harus menerapkan Kurikulum 2013 ini sejak tahun ajaran lalu. Namun mendadak ada ketentuan Mendikbud mengenai kewajiban pelaksanaan kurikulum ini bagi pembelajaran di semua sekolah tingkat dasar dan menengah pada tahun ajaran ini. Menjelang akhir tahun ajaran lalu pun beberapa guru mewakili berbagai mata pelajaran dikirim mengikuti pelatihan tingkat SMP dan SMA. Iya, saya jadi ikut dua kali, hehe...

Saat dijalani, penerapan kurikulum 2013 ini punya segi seru dan nggak seru. Mulai dari yang nggak seru dulu ya, karena ini paling banyak dibicarakan sejak kira2 dua tahun lalu. Banyak guru dan sekolah yang gundah mengenai aplikasi kurikulum ini karena kurangnya sosialisasi dan penanaman pemahaman; ketidaktersediaan bahan ajar; dan terutama karena banyaknya formulir administrasi pengajaran dan penilaian yang bertumpuk untuk diisi setiap kali mengajar.

Nah, sekarang hal yang serunya ya, tentunya subjektif banget menurut saya. Ini terutama pada hal bahan ajar yang secara struktur berbeda dengan kurikulum 2006 sebelumnya. Karena tahun ajaran ini jam mengajar saya lebih banyak di kelas Sejarah SMA dengan adanya mata pelajaran wajib Sejarah Indonesia di samping mapel sejarah untuk kelas2 IPS, maka pengajaran IPS Terpadu SMP tahun ini untuk kelas 2 saya bermitra dengan ustadzah Vivi. Kami pun sepakat mengenai pengadaan bahan ajar yang akan lebih banyak ditemukan sendiri oleh para siswa, hehe...

Bulan Oktober ini di kelas 8 ada materi mengenai keterkaitan aspek2 lingkungan dengan ekonomi sosial masyarakat. Buku teks kiriman dari Kemendikbud yang kami pegang lebih banyak menyebutkan indikator2, sementara data nyata tentang keterkaitan tersebut harus digali sendiri oleh siswa.

Saya telah membagi siswa kelas 2B menjadi empat kelompok. Masing2 akan bertanggungjawab untuk menggali aspek lingkungan hidup, kehidupan ekonomi, serta kondisi sosial masyarakat di sekitar Desa Jampang, lokasi sekolah kami. Bagaimana menggalinya? Ahaaa... ini bagian serunya!

Wawancara Sumber
Sebagian siswa kelas 2 semester ini sudah aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik bersama klub jurnalistik SDetik. Sedikit banyak sudah ada yang paham bagaimana  mengenali berita dan menggali sumber2 berita, misalnya mencari data dan mewawancarai sumber yang relevan. Pokoknya kegiatan jurnalistik dasar. Untuk tugas ini, saya persilakan setiap kelompok menentukan sendiri sumber yang akan mereka gunakan. Pada waktu pembelajaran yang ditentukan, maka berhamburanlah para siswa ini ke luar kelas dan mencari sumber2 mereka.

Ray dan Gilang mengumpulkan data dari ustad Irsan
Ustadzah Nika diwawancarai Rosyid dan Hafiz 
Hizba dan Rizky mewawancarai Mas Dian
Verifikasi dan Diskusi
Selesai menjalankan pencarian data dan wawancara, semua siswa kembali ke kelas. Tiap kelompok pun berkumpul dan mendiskusikan hasil yang mereka peroleh. Diskusi ini penting karena merupakan bagian perencanaan kunjungan lapangan untuk mencocokkan data pada kegiatan belajar berikutnya.



Persiapan semua kelompok nampaknya sudah siap saat saya inspeksi satu per satu. Kegiatan berikutnya tidak kalah seru. Tunggu di bagian kedua liputan, ya!

Sunday, October 26, 2014

Persembahan bagi Pahlawan Musik Indonesia (Bagian 2)

Kisah ini berhubungan dengan kegiatan belajar Sejarah di kelas 5 IPS SMA SMART Ekselensia Indonesia yang di antaranya diisi dengan menyanyikan lagu karya maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki dan Gesang.

Jam pelajaran Sejarah di kelas 5 IPS diberikan sebanyak 4 jam seminggu, sementara di kelas 5 IPA hanya 1 jam seminggu. Biasanya di kelas IPA kami lebih sering mengulang materi pelajaran Sejarah SMA dari kelas 3, sebagai persiapan ujian sekolah di akhir tahun ajaran. Kami sama2 membahas soal2 yang banyak terlupakan karena saat mereka kelas 4 tidak ada jam pelajaran Sejarah. Kadang saya putarkan juga video pendek yang berhubungan dengan materi yang dibahas, namun secara garis besar, kelas ini tetap bersemangat menjalani pembelajaran yang santai ini.

Bulan lalu, kegiatan pembelajaran kelas bernyanyi yang saya jalankan di kelas tetangga, tak luput dari pengetahuan siswa kelas 5 IPA. Ada dari mereka bertanya, kok kelas ini tidak bernyanyi juga di jam pelajaran Sejarah? Saat itu saya jawab, kelas sebelah punya jam belajar lebih banyak, di sini kan kita mengulang materi dalam waktu terbatas. Itu saja, sudah. Mereka cukup puas dan tidak bertanya lebih lanjut.

Beberapa musim berganti... Bukan. Hanya beberapa minggu berselang, sebenarnya.

Sekolah kami punya kegiatan tahunan yang cukup besar dan melibatkan seluruh komponen sekolah, yaitu Olimpiade Humaniora Nusantara (#OHARA2014). Tahun ini diadakan pada 21-22 Oktober 2014, dengan komando dipegang oleh Ustad Eko guru olahraga. Makin mendekatnya penyelenggaraan acara ini, saya terpikir untuk ikut mengisi panggung. Bukan, bukan saya yang akan bernyanyi atau menampilkan sulap, melainkan para siswa dari kelas Sejarah.

Acara dengan peserta para siswa dan guru dari berbagai sekolah ini, dalam pikiran saya, sangat strategis untuk mengenalkan kembali karya2 dari musisi terkemuka di masa perjuangan kemerdekaan dulu. Gambaran ketidaktahuan para siswa SMART EI tentang siapa itu Ismail Marzuki atau Gesang atau seniman lain dan karya2 mereka, siapa tahu juga terdapat di sekolah lain. Maka saya pun berhasrat agar di panggung #OHARA2014 nanti terselip pula penampilan siswa SMART EI membawakan lagu2 sarat pesan dan sejarah yang sudah lama tak didengar masyarakat ini.

Ustadzah Dini teman seruangan saya merupakan penanggungjawab panggung acara #OHARA2014. Beliau setuju memasukkan penampilan lagu di masa perjuangan itu di panggung. Berikutnya adalah menentukan sang penampil. Baru saja saya sampaikan ide ini pada suatu hari Senin di depan kelas IPS (yang sebenarnya punya siswa bersuara emas), sambutan meriah langsung saya dapatkan secara tidak serentak: "Enggak mauuuu... Ogaaaaah.... Maluuuuu..." dan sebagainya. Dibujuk2 pakai permen atau balon tidak mempan; dikitik2 pakai bulu ayam, saya yang ogah, hehe...

Huh. Ya sudah. Saya menanti keesokan harinya, Selasa pagi, saat siswa2 kelas IPA memasuki kelas. Di sini ide bersambut baik, apalagi kelas ini punya grup band akustik (dengan manajer ustadzah Vera :p) yang sering tampil di aneka lomba di luar sekolah. Nama band ini PassFour, dengan empat anggotanya adalah Fadhli, Dian, Karunia dan Robby. Keempat lagu saya sodorkan, mereka segera berlatih.

PassFour berlatih di kelas Sejarah

Gladi kotor di aula

Alhamdulillah. Persiapan cukup. Tinggal tunggu hari H.

Karunia, Fadhli, Dian dan Robby, menyamakan nada sebelum naik panggung

PassFour diajak foto bareng oleh Abang Jampang :)


Hari H, #OHARA2014 tiba. Penampilan PassFour (yang di hari pertama dibantu narasi oleh Fajar), cukup menarik perhatian, terutama karena lagu jadul yang mereka bawakan jarang didengar telinga anak muda zaman sekarang. Kalau buat saya, penampilan mereka kereeen... (iya, subjektif banget!) karena akhirnya di antara terpaan lagu2 Taylor Swift, Maroon 5, atau Adera yang biasanya akrab di telinga, romansa tahun 1940an bisa hadir. 

Romansa yang bukan hanya tentang keindahan wajah sang Juwita Malam atau wajah pemilik sepasang mata bola, namun juga salam perjuangan dari Stasiun Jatinegara dan kesyahduan Bengawan Solo...

Terima kasih para musisi pejuang. Semoga romansa ini bisa lestari hingga anak cucu kami nanti.

Friday, October 17, 2014

Persembahan bagi Pahlawan Musik Indonesia (Bagian 1)

Suatu pagi sebuah lagu mengalun syahdu. "... Melambai-lambai... Nyiur di pantai..." dan sekonyong-konyong muncul "kuis" di tengah para pendengar alunan lagu tersebut.

"Ini lagu judulnya apa, ya?"
"Aduuh lupa... Tapi ini dulu lagu penutup siaran TVRI setiap malam."
"Waduuuh... Saya kok ga tau, ya?"

Mohon perhatian sebentar, Saudara2. Para pendengar dan komentator di atas adalah sekumpulan guru di sekolah menengah, dengan usia rata2 tiga puluh tahun, terhitung orang dewasa yang sempat mengalami masa ketika Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi satu2nya stasiun pemancar siaran televisi di tanah air. Dengan ketiadaan saingan, tentu semua siaran TVRI diserap oleh segenap lapisan masyarakat, dari berita2nya, artis2nya, dan lagu2 yang disiarkan.

Tapi kali ini saya tidak ingin menulis tentang TVRI atau siaran2nya. Saya tergelitik saat ternyata teman2 seangkatan saya di atas ternyata masih harus menebak2 judul lagu "Rayuan Pulau Kelapa" yang dulu nyaris tiap hari kami dengar baik melalui TVRI maupun RRI. Kalau judulnya saja masih perlu tebak-menebak, bagaimana dengan nama penciptanya, ya? Juga kalau generasi di atas 30 tahun mulai melupa, apa kabar dengan generasi yang belum mencapai 20 tahun, ya?

Atas pertimbangan2 ini, saya jadi kepingin menghadirkan suasana nostalgia a la masa awal kemerdekaan di kelas Sejarah yang saya ampu di SMA SMART Ekselensia Indonesia. Pas banget (atau saya pas2kan lah :p), materi belajar kami di kelas 5 IPS adalah tentang situasi Indonesia di awal kemerdekaan. Jika buku teks lebih banyak mengambarkan situasi sosial-politik-keamanan, maka saya membawa sebuah majalah Intisari edisi tahun 1990an. Di dalamnya ada artikel tentang komponis Gesang, yang mencipta puluhan lagu berlanggam keroncong, namun namanya masyhur hingga ke berbagai negara lewat lagu legendaris "Bengawan Solo".

Sengaja saya rancang materi ini menjadi materi bernyanyi. Tentu yang menyanyi adalah para siswa agar gratis, kalau saya kan minta honor tambahan, hehe... Selain agar suasana belajar santai dan tidak bosan, juga agar para siswa dengan rentang usia 16-18 tahun ini sadar, bahwa musik atau lagu2 tidak semata diciptakan dalam keadaan santai saat negara damai atau dalam mood cinta2an pada lawan jenis. Dua orang maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki dan Gesang, menjadi dua tokoh seniman yang karya ciptanya tetap menggugah hingga kini.

Langkah belajar kelas bernyanyi ini adalah sebagai berikut: Pertama, kelas dengan jumlah siswa 18 orang ini saya bagi menjadi empat kelompok. Masing2 kelompok mengambil kertas undian dengan tulisan judul lagu: "Bengawan Solo", "Jembatan Merah", "Sepasang Mata Bola", dan "Juwita Malam". Bisa ditebak, sangat sedikit siswa SMA zaman sekarang yang tahu judul2 tersebut, apalagi tahu lagunya.

Seorang siswa yang kelompoknya mendapat undian untuk lagu Ismail Marzuki, "Sepasang Mata Bola", malah sempat protes. "Ustadzah nggak salah nulis, nih? Bukannya 'Sepasang Bola Mata'?" Mendengar ucapan itu, malah sepasang bola mata saya yang memutar ke atas. Capek, deeeh...

Langkah kedua, kepada tiap kelompok saya beri lembar kerja. Hanya ada tiga pertanyaan untuk diisi pada lembar kerja itu: tulisan lirik lagu, latar belakang penulisan lagu, serta dampak publikasi lagu tersebut bagi bangsa Indonesia dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Semua pertanyaan ini tidak ada nilai benar atau salah, semua jawaban saya terima sebagai proses belajar. Bahkan mereka saya izinkan mencari bantuan kepada ustad/ustadzah pengajar lain di lingkungan sekolah untuk mencari jawabannya.

Rupanya jawaban atas pertanyaan pertama yang mereka anggap bikin susah. Karena sebagian besar siswa merasa belum pernah mendengar lagu2 tersebut seumur hidup mereka, maka saya hubungkan Embi si laptop saya dengan situs Youtube, mencari penampil dengan lagu2 tersebut untuk disaksikan bersama. Untuk lagu "Jembatan Merah" dan "Sepasang Mata Bola", kami menonton penampilan penyanyi keroncong nasional; lagu "Juwita Malam" ternyata pernah direkam dan dibuat video klipnya oleh grup band Slank; sementara video lagu "Bengawan Solo" yang saya tampilkan membuat para siswa terpukau karena dinyanyikan oleh seorang bule Belanda dengan cukup fasih bersama iringan gitar akustiknya.

Baik, sekarang tidak ada alasan tiap kelompok untuk tidak bisa mengisi lembar kerja. Langkah ketiga adalah penampilan para siswa ini dalam kelompok dengan lagu yang menjadi jatah masing2. Dalam tahap ini, terjadi pergolakan lahir dan batin. Banyak siswa yang menolak penampilan mereka direkam dalam bentuk video. Bisa jadi sebagian khawatir jika video itu saya unggah ke YouTube, akan menjadi awal kesuksesan karir musik mereka dan menyebabkan mereka tidak bisa konsentrasi menempuh ujian nasional untuk kelulusan dari SMA semester depan, huehehe...

Oke, oke... Kami pun berkompromi. Mereka tetap harus berlatih membawakan lagu mereka dengan alat musik pilihan yang ada di ruang musik dan tetap akan direkam, namun tanpa menampilkan wajah dengan jelas. Dua kelompok, yaitu Jajang dkk yang membawakan lagu "Juwita Malam" dan kelompok Somad dkk dengan lagu "Bengawan Solo" direkam oleh saya, minggu kedua September lalu. Sementara untuk pertemuan berikutnya, karena saya ada tugas keluar sekolah, ustadzah Dini yang membantu merekam kelompok Fardin dkk dengan lagu "Jembatan Merah" serta kelompok Agung dkk dengan lagu "Sepasang Mata Bola".

Kelompok Jajang, Andi, Johan, Rofi dan Iqbal bersiap melantunkan "Juwita Malam"
Demikianlah, kisah pertama persembahan kami bagi pahlawan musik Indonesia. Nantikan bagian keduanya, ya... Semoga bisa segera muncul, hehe...

Sunday, October 12, 2014

Bawang Goreng

Ini cerita lumayan lama dari sebuah sudut sekolah. Akar ceritanya panjang, yaitu dari suatu Sabtu pagi, 22 September 2012. Klub jurnalistik sekolah kami, SMART Ekselensia Indonesia, resmi berdiri. Namanya S'Detik, alias "SMART dengan Jurnalistik.

Pertemuan pertama klub jurnalistik S'Detik, dipimpin oleh Ahmad Rey Fahriza (angkatan 5 SMART EI)


Inti cerita ini adalah kejadian hari Minggu, 21 September 2014. Untuk sebuah acara peringatan dua tahun berdirinya klub jurnalistik S'Detik, saya mengundang semua peserta klub dan beberapa kakak senior yang sudah jadi alumni, untuk berbagi cerita dan pengalaman serta ‘selamatan’ bareng.

Rey datang lagi, sudah jadi alumni SMART bersama Ahmad Rofai (angkatan 6 SMART EI)

Biar seru, saya pesan nasi tumpeng yang cukup untuk 30 orang. Saat ini anggota klub SDetik terdiri dari siswa2 kelas 2 hingga 5, atau angkatan 7, 8, 9 dan 10.

Biarlah 30 orang juga, memang sudah rezeki mereka, kata seorang tukang rambutan kepada istrinya #eh. 

Tumpeng kami di dua tahun SDetik

Sang tumpeng tersebut -nasi kuning berlauk perkedel, tempe orek, telur dadar, terbungkus plastik- tiba sekitar pukul satu siang. Saya meminta beberapa siswa yang telah hadir untuk membantu membawa masuk dan meletakkannya di meja. Mereka membawanya dengan bersemangat, mata berbinar2… dan mengiringinya dengan… hampir semacam koor:

“Hmmm… Bawang goreng…”

Saya jadi terharu. Bagi beberapa orang, bahagia itu ternyata sesederhana bertemu nasi bertabur bawang goreng.


Siang itu yang ikut tumpengan memang tidak sampai 30 orang, tidak semuanya juga masuk dalam foto di atas. Namun alhamdulillah, tumpengnya habis dan hanya menyisakan tampah anyaman bambu saja. Mungkin akibat tuah bawang gorengnya ya ^_^

Foto2: dokumen SDetik.