Sebuah kesempatan untuk belajar bersama guru2 baru kembali hadir. Lewat ajakan uda Aldo Zirsov, seorang teman Goodreads Indonesia, kemarin (4/8) saya bisa hadir di sebuah lokakarya yang diadakan oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur. Pengisi lokakarya ini selain dari PDA juga ada dari Arsip Nasional RI dan Atlas of Mutual Heritage, sebuah proyek pengumpulan data peninggalan bersejarah di dunia dari Belanda.
Kegiatan diskusi di Kafe Historia, kawasan Kota Tua Jakarta ini saja sudah begitu menarik bagi saya yang sudah lama tidak punya kesempatan menimba ilmu dari praktisi, apalagi kegiatan lanjutannya. Inilah kegiatan favorit saya selain membaca dan tidur: jalan-jalan! Tertulis di jadwal, kegiatan jalan-jalan ini akan menuju Gudang Timur VOC di Batavia, dipandu oleh Bapak Candrian Attahiyat, arkeolog senior Universitas Indonesia yang kini menjabat sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta.
Sesuai jadwal, sekitar pukul 14.30 kami sudah bersiap menuju kawasan Pasar Ikan. Sekitar tiga puluhan peserta lokakarya naik angkot menuju Museum Bahari, walau itu bukan tujuan utama kami. Pak Candrian membawa kami tepat ke seberang museum tersebut. Pertama untuk menunjukkan bekas fondasi jembatan dari bata merah yang dibangun sejak abad 18 yang kini merana menanti akhir keberadaannya; dan kedua mengajak kami membayangkan bila di lokasi kami berdiri beberapa tahun lagi tanggul laut setinggi lima meter didirikan pemerintah demi (katanya) melindungi Jakarta dari banjir akibat gelombang pasang.
Bekas fondasi jembatan yang dibangun VOC |
Di lokasi ini beberapa bulan lalu kontroversi proses penggusuran penduduk ilegalnya menjadi berita 'panas' di berbagai media tanah air. Di tanah timbunan sekian puluh tahun di bawah sepatu kami terlihat jelas runtuhan tembok, potongan kayu, aneka rupa sisa sampah sebagai tanda bekas pemukiman. Sebagian bangunan semi permanen masih berdiri, sedang dipreteli bagian2nya oleh pemiliknya sebelum gelombang penggusuran berikut tiba tanpa ampun. Belasan alat berat juga masih bekerja di bagian lain lahan, sebagai usaha meratakan kawasan
Sebuah bangunan besar modern berada di seberang sungai. Sebelumnya, Pak Candrian menyebut bangunan pintu air Pasar Ikan ini dengan sebutan "norak." Tapi itu bukan bahasan saya. Kami kembali melangkah ke samping deretan pagar besi tepat di sisi jalan depan Museum Bahari. Di situ masih ada sebentuk tembok rendah, terbuat dari bata merah yang lebar dengan permukaan lebih halus daripada bata buatan zaman sekarang. Inilah sisa tembok kota Batavia yang dulu dibangun hingga setinggi tujuh meter sejak abad ke-17 oleh VOC. Sisa tembok ini tersebar sedikit2 di kawasan ini, bercampur dengan tembok pembatas lain, termasuk yang dibangun di masa reformasi (setelah 1998).
Di balik sisa tembok tua yang tertimbun selama berabad-abad dan tingginya kini tinggal sedengkul itu, tampak "mengambang" beberapa bangunan kayu di tengah genangan air gelap kehijauan yang nyaris tidak bergerak. Rupanya bangunan2 inilah yang termasuk bangunan tertua di Jakarta, dulu merupakan gudang rempah2 yang dibangun VOC saat mulai berniaga di Jayakarta, di atas lahan yang disewa dari Kesultanan Banten, tahun 1600-an. Nantinya sekitar gudang dibangun tembok dan benteng yang dipersenjatai meriam dan digunakan untuk mengalahkan kesultanan ini. Ha. Senjata makan tuan.
Di sekitar bangunan bekas gudang hingga kini masih ada beberapa keluarga yang bertahan hidup dikelilingi air hijau kecoklatan serta bangunan terlantar lain baik berbahan tembok atau kayu. Beberapa anak masih ramai bermain; mereka bilang, kadang menemukan uang di antara bangunan2 terlantar itu. Saat saya tanya, sebagian masih bersekolah dan ada yang menyebut sudah berhenti sebelum lulus SD.
Rombongan jelajah kami melanjutkan perjalanan, masuk Museum Bahari melalui pintu belakang. Tidak lama di dalam, kami segera melangkah keluar, melewati Menara Syahbandar, menyeberang Jalan Kalibesar dan menyusuri Jalan Kerapu. Ternyata ada dua kegiatan jelajah kampung di sepanjang anak Sungai Ciliwung di kawasan ini, tapi nanti saya ceritakan di bagian lain saja. Perjalanan kami adalah mengunjungi sisa2 tembok tua Batavia dan Gudang Timur VOC.
Tinggal sekian ratus meter tembok yang dulu menjadi batas Batavia kini tersisa. Kondisi setelah lebih dari 300 tahun pun tampak tak terawat; banyak batu batanya terbuka dan pohon2an liar tumbuh dengan sulur2 akar menjulur tembok. Belum lagi jaraknya yang begitu dekat dengan pemukiman warga, membuat sebagian dari sisi luar tembok ini dimanfaatkan sebagai dinding samping tempat leyeh2 atau pos ronda. Cukup sulit untuk membayangkan lokasi tempat kami berdiri ini pada tahun 1700-an sudah berada di luar Batavia, sebuah kawasan yang dalam istilah sekarang bisalah disebut "Jakarta coret".
Miris? Tentu. Tapi kita belum melihat, ada apa di sisi dalam tembok ini. Dipimpin Pak Candrian, kami kembali melangkah ke utara, kali ini menempel tembok, mencari satu2nya pintu masuk dari masa lalu yang tersisa. Tembok setebal (kira2) dua meter ini punya sebentuk lubang pintu dengan bagian atas setengah lingkaran. Bagian utara dari pintu ini runtuh sama sekali tak bersisa, lebih jauh lagi adalah ruas jalan tol menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kami memasuki celah pintu, masuk ke bagian dalam tembok, dan melihat ...
Kondisi tembok dalam ini tidak jauh berbeda dengan sisi luarnya. Bangunan besar putih tertutup tanaman bersulur di bagian kiri foto dulu adalah gudang gandum milik VOC. Sekarang dibiarkan kosong, hanya dimanfaatkan oleh para supir truk untuk beristirahat menanti giliran mengemudi membawa truk dan muatannya sesuai perintah bos. Truk2 parkir di luar, bapak2 supir istirahat di dalam.
Nah, begitulah. Rupanya sejak berpuluh tahun silam, bagian sebelah dalam tembok Batavia yang tersisa ini berada dalam penguasaan salah satu bagian TNI Angkatan Darat. Situs bersejarah ratusan tahun ini tampak begitu merana. Hingga akhir tahun lalu, kabarnya, di tempat saya berdiri mengambil gambar ini masih berdiri gudang tua lain, yang kemudian dirobohkan demi lapangan parkir yang lebih luas.
Penjelajahan kami sore itu masih mengunjungi satu kampung lagi di kawasan ini, namun gambaran tembok tua yang merana ini masih terbawa. Sampai kapan ya warga Jakarta masih bisa melihat sendiri sisa berdirinya tembok kota ini?
Atau sudah banyak yang tidak peduli?
Sisa tembok Batavia di kawasan Pasar Ikan. |
Di balik sisa tembok tua yang tertimbun selama berabad-abad dan tingginya kini tinggal sedengkul itu, tampak "mengambang" beberapa bangunan kayu di tengah genangan air gelap kehijauan yang nyaris tidak bergerak. Rupanya bangunan2 inilah yang termasuk bangunan tertua di Jakarta, dulu merupakan gudang rempah2 yang dibangun VOC saat mulai berniaga di Jayakarta, di atas lahan yang disewa dari Kesultanan Banten, tahun 1600-an. Nantinya sekitar gudang dibangun tembok dan benteng yang dipersenjatai meriam dan digunakan untuk mengalahkan kesultanan ini. Ha. Senjata makan tuan.
|
Rombongan jelajah kami melanjutkan perjalanan, masuk Museum Bahari melalui pintu belakang. Tidak lama di dalam, kami segera melangkah keluar, melewati Menara Syahbandar, menyeberang Jalan Kalibesar dan menyusuri Jalan Kerapu. Ternyata ada dua kegiatan jelajah kampung di sepanjang anak Sungai Ciliwung di kawasan ini, tapi nanti saya ceritakan di bagian lain saja. Perjalanan kami adalah mengunjungi sisa2 tembok tua Batavia dan Gudang Timur VOC.
|
|
Nah, begitulah. Rupanya sejak berpuluh tahun silam, bagian sebelah dalam tembok Batavia yang tersisa ini berada dalam penguasaan salah satu bagian TNI Angkatan Darat. Situs bersejarah ratusan tahun ini tampak begitu merana. Hingga akhir tahun lalu, kabarnya, di tempat saya berdiri mengambil gambar ini masih berdiri gudang tua lain, yang kemudian dirobohkan demi lapangan parkir yang lebih luas.
Penjelajahan kami sore itu masih mengunjungi satu kampung lagi di kawasan ini, namun gambaran tembok tua yang merana ini masih terbawa. Sampai kapan ya warga Jakarta masih bisa melihat sendiri sisa berdirinya tembok kota ini?
Atau sudah banyak yang tidak peduli?