Wednesday, May 28, 2014

Belajar Menjadi Undagi Abad 21

un·da·gi kl n tenaga ahli

Definisi di atas datang dari laman KBBI daring milik Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI. Kata ini tidak asing bagi orang yang mempelajari ilmu sosial di tingkat sekolah menengah, karena merupakan bagian materi kehidupan masa praaksara pada pelajaran IPS Terpadu kelas VII dan Sejarah kelas X. Salah satu periode dalam masa praaksara adalah zaman logam,yaitu saat manusia pendukung kehidupannya sudah mampu memanfaatkan logam untuk membuat produk pendukung kehidupan mereka. Karena saat itu mereka menguasai teknik peleburan dan pencetakan benda2 logam, tak kalah pandai dengan keahlian para pandai besi zaman sekarang, maka masa ini disebut pula sebagai zaman perundagian.

Jika hanya belajar membaca definisi dan melihat contoh pada gambar di buku atau internet, mempelajari kehidupan masa perundagian ini tidak ada gregetnya. Kita masih berjarak puluhan ribu tahun dengan masa lampau tersebut. Maka kami di SMP SMART EI membuat terobosan, dengan belajar menjadi undagi!

Selasa (29/4), pada awal pertemuan di dalam kelas, saya beri sedikit pengantar mengenai kebudayaan manusia praaksara, terutama yang dikenal di wilayah Nusantara. Mulai dari zaman batu tua, batu madya, batu muda, batu besar, dan tidak ketinggalan zaman logam. Bagaimana para ahli logam masa itu membuat hasil2 kebudayaan menggunakan logam, yaitu dengan teknik bivalve dan a cire perdue, juga saya jelaskan. Sekarang, saatnya kita mencoba teknik yang sama untuk menjadi undagi di abad ke-21.

Saya membagi kelas dalam empat kelompok, lalu kami bersama2 menuju halaman tengah, yang lebih dikenal sebagai Taman Bundar. Kepada masing2 kelompok, saya berikan sebongkah tanah liat, untuk menciptakan cetakan kreasi mereka. Kalau di teknik asli milik manusia purba, pertama ada bentuk yang lebih dulu dibuat dengan menggunakan lemak hewan yang mudah dibentuk, dilapis tanah liat, kemudian dipanaskan. Saat lemak itu mencair dan mengalir keluar dari lubang yang dibuat pada tanah liat, maka tercipta bentuk kosong di dalamnya. Nantinya ke dalam cetakan tanah liat yang berongga itu akan dituangkan logam cair, yang berikutnya akan mendingin dan menjelma bentuk dari logam yang diinginkan. Pada saat itu tanah liat pun dipecahkan hingga muncul benda logam sesuai cetakannya.

Kelihatannya mudah sekali, kan? Sayangnya kami sulit mendapat lemak serupa itu atau bahan pengganti yang setara. Sebelumnya saya sudah mencoba memakai lilin lampu biasa yang mudah meleleh, tapi ternyata cepat mengeras dan sulit dibentuk. Kemudian plastisin yang mudah dibentuk pun dicoba, dan ternyata sulit dilelehkan. Apa boleh buat, para siswa pun saya minta langsung membuat cetakan berongga dengan tanah liat tanpa mengikuti bentuk lilin terlebih dahulu.




Kelompok-kelompok mempersiapkan aneka bentuk cetakan tanah liat

Tiap kelompok menyelesaikan cetakan mereka. Beragam bentuk mereka buat. Dari mata tombak, miniatur kujang, kupu2, daun, hingga model perhiasan. Cetakan tanah liat ini dikeringkan agar bisa digunakan untuk mencetak logam keesokan harinya.

Dan esok pun tiba. Kali ini ruang belajar kami berpindah ke laboratorium IPA, di mana "alat2 memasak" telah disiapkan, yaitu kompor, wajan tanah liat, dan sendok panjang dari tempurung kelapa (yang tadinya simpanan dapur ibu saya di rumah, hehe...). Wajan dan sendok ini memang dipersiapkan khusus karena yang hari ini akan kami "masak" adalah timah, yang tentunya tidak cocok jika dipanaskan di wajan dan sendok logam. Tak lupa sarung tangan karet yang tebal pun disiapkan untuk kelancaran proses belajar ini.

Peralatan tempur dan amunisi: wajan tanah liat, sendok tempurung kelapa, dan timah batangan.

Waktu belajar tiba. Para siswa memasuki lab dan mempersiapkan cetakan mereka. Saya beri arahan, dan mereka siap beraksi! 


Serunya mencairkan timah dan menuangkannya dalam cetakan

Sudah terlihat serunya? Pasti dong. Dan kelanjutan keseruan belajar jadi undagi ini akan kita lanjutkan di cerita berikutnya ya...

No comments:

Post a Comment