Showing posts with label belajar Sejarah. Show all posts
Showing posts with label belajar Sejarah. Show all posts

Friday, April 10, 2015

Gunung Padang: Mission Accomplished!

Seperti orang punya utang, kalau kita punya misi yang belum tertunaikan, kok rasanya tidak enak ya. Berjalan terasa berat, tidur tidak nyenyak, makan tidak enak... 

Oke, kalimat terakhir di atas berlebihan :) Kalau bagian punya misi yang belum tertunaikan, hal itu benar belaka. Sejak mengambil amanah mengajar mapel sejarah di SMA SMART Ekselensia Indonesia tahun ajaran lalu, saya langsung membedah materi untuk membuat pembaruan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Harapan saya, hanya sedikit saja buku teks yang ada di sekolah selama bertahun-tahun, yang akan menjadi sumber belajar di kelas. Jadinya setiap ada surat kabar dan majalah yang memiliki berita menarik, saya simpan. Berbagai metode penyampaian pembelajaran saya kulik2 agar bisa digunakan dengan lebih.

Contohnya, pembelajaran mengenai masa praaksara dengan mencoba meniru teknik pembuatan logam manusia masa itu dengan belajar menjadi undagi. Kita tidak bisa pergi ke masa lalu, tapi bisa menerapkan pengetahuan kita untuk menyelami kehidupan di masa itu.

Dan tentunya, tempat belajar yang menarik perlu disiapkan. Belajar sejarah yang paling asyik sebenarnya adalah di lokasi kejadian di masa lalu. Tapi kita kan tidak punya "pintu ajaib ke mana saja" a la Doraemon, jadi terpaksa lokasi belajar masih di wilayah yang terjangkau di sekitar Bogor saja. Tapi sekali-sekali boleh deh, kita rancang pembelajaran yang bisa sekaligus membawa berkelana jauh... sampai ke masa lalu. 

Sudah sejak setahun lalu saya dan ustadzah Detty, guru geografi sekolah kami, merancang pembelajaran lapangan bersama di sebuah lokasi yang sangat menantang dan "nyambung" dengan materi kami di kelas X. Materi sejarah mengenai peradaban awal masyarakat Indonesia, dipadukan dengan materi lithosfer di kelas geografi, tentu akan terasa gregetnya jika dipadukan dalam pembelajaran di situs kontroversial yang sedang ramai dibicarakan, situs megalitik Gunung Padang, Cianjur.

Dirancang sedemikian lamanya, tadinya kunjungan ini akan dilaksanakan sekitar bulan Oktober 2014. Selain materi sejarah dan geografi, pelajaran bahasa Indonesia juga akan bergabung dengan materi menulis dan membaca berita. Khusus untuk siswa jurusan IPA, bahkan ada materi Fisika menyelidiki medan magnet di seputar kawasan. Namun ada gangguan yang tidak memungkinkan pembelajaran ini terlaksana saat itu. Masa berlalu, semester berganti, dan jadwal diputar, hingga akhirnya kami bisa berangkat ke situs megalitik yang usianya dikatakan lebih tua daripada piramida Mesir ini.

Sebanyak 34 siswa kelas 4 SMART EI berangkat dari sekolah hari Kamis (9/4), sekitar pukul 5.20 WIB, didampingi oleh saya, ustadzah Dini guru sosiologi, ustadzah Retno yang mewakili guru bahasa Indonesia, plus ustad Eko dan ustad Juli sebagai pendamping pengemudi di bagian depan truk penumpang milik Kopassus yang kami sewa :)

Perjalanan Parung-Cianjur sampai memakan waktu 3,5 jam dengan rute bagai perjalanan Ninja Hattori yang mendaki gunung lewati lembah. Alhamdulillah kami tiba juga dengan selamat sekitar pukul sembilan, saat lokasi situs bisa dibilang masih kosong dari serbuan pengunjung. 

Gerbang masuk areal situs Gunung Padang.
Berfoto sebelum mulai mendaki teras-teras Gunung Padang (foto oleh Ilyas FMA).
Mendengarkan penjelasan Pak Yudha, salah seorang pemandu di situs Gunung Padang
Foto bersama di areal teras ketiga (foto oleh Ardi Rein)
... dan foto bersama lagi sebelum beranjak pulang :p... (foto oleh M Fatih Daffa).

Nah, dari sini, cerita akan dilanjutkan oleh salah satu siswa peserta pembelajaran lapangan ini, Farid Ilham Muddin, di laman situs duabelasdetik.com. Selamat membaca :)

Saturday, February 21, 2015

Kuliah Umum di Kelas Istimewa

Perubahan jam dan materi mengajar tahun ini membuat saya tidak sempat membuat perencanaan menghadirkan guru tamu di kelas saya sebagaimana tahun2 lalu.

Eh tapiii...

Teman mengajar saya, ustadzah Dini, punya inisiatif mengundang dua orang tamu keren di jam pelajaran BK. Keduanya adalah alumni SMART Ekselensia Indonesia, angkatan 2. Mereka diminta berbagi cerita di hadapan adik2 junior termuda mereka saat ini, yaitu kelas 1B angkatan 11, Jumat siang 13 Februari 2015.

Kak Syaiful Burhan dan Kak Muhammad Ilhanul Hakim

Kak Ulin belum lama ini lulus S1 dari kampusnya. Dia berbagi pengalamannya dulu di asrama SMART yang mungkin tidak lagi dialami adek2 angkatan sekarang.

Kak Burhan sudah punya usaha yang nilai ekonomisnya luar biasa untuk seorang mahasiswa, yaitu usaha kuliner Molen Arab yang berpusat di Medan, Sumatera Utara.

Selang beberapa hari kemudian...

Senin pagi, matahari belum tinggi, 16 Februari 2015. Saya sedang membahas soal2 akulturasi budaya Hindu-Budha di Indonesia bersama kelas 3B saat tiba2 pintu kelas diketuk dari luar. Tahu2, begitu saja rombongan para pembesar dari Dompet Dhuafa, dari Dewan Pembina sampai entah siapa saja itu masuk minta ikut diajari materi sejarah (#eh).

DR Ichsanuddin Noorsy tahu2 jadi guru tamu di kelas kami

Siapa sangka dalam inspeksi rombongan yang baru menyelesaikan peletakan batu pertama masjid di kawasan Rumah Sehat Terpadu di seberang jalan ini ada seorang tokoh nasional. Beliau bukan politisi ya, tapi ahli ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Doktor Ichsamuddin Noorsy. Materi sejarah saya disambungnya dengan sosiologi, lalu Alquran, dan sebagainya. Jadi saya lepas tangan selama delapan menit berikutnya hingga kuliah Pak Ichsan selesai dan rombongan meninggalkan ruangan. Tapi saya nggak nganggur kok, suwer. Saya bergeser2 di kelas untuk ambil foto ;-)

Monday, November 10, 2014

Belajar Lapangan, di Dalam Ruangan

Sebuah pesan pendek muncul di layar ponsel saya. Dari ustad Firman, guru Bahasa Indonesia di SMART Ekselensia Indonesia. Beliau menanyakan, berapa orang siswa SMART EI yang pernah saya ajak berkunjung ke Museum Nasional di Jakarta. Saya jawab, hanya ada lima orang, pada bulan Juni 2014 yang lalu. Mereka adalah siswa angkatan 9 yang pada bulan Maret 2014 lalu tidak bisa ikut menjelajah ke kawasan Kota Tua Jakarta. Mustinya ada tujuh, tapi dua orang lagi2 batal ikut dengan alasan masing2.

Pertanyaan ustad Firman rupanya berhubungan dengan kegiatan belajar di lapangan tahunan SMART EI untuk tahun 2014, alias fieldtrip. Tahun ini beliau adalah penanggungjawab kegiatan ini. Setelah dua tahun sebelumnya fieldtrip dijalankan di alam bebas, tahun ini kami belajar lapangan, tapi di dalam ruangan :p.

Dua lokasi menjadi tujuan belajar kelas 1-5 kali ini. Ternyata hanya sedikit sekali siswa (dan guru juga) yang sudah pernah mengunjungi Museum Nasional. Jadi diputuskanlah museum megah ini sebagai salah satu lokasi belajar, pada hari Rabu, 5 November 2014 lalu.

Empat bus besar pun berangkat sejak pagi dari kampus kami di Parung menuju Museum Nasional di kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mumpung juga pelajaran Sejarah Indonesia yang saya ampu untuk kelas X sedang membahas materi Kerajaan Hindu-Budha yang pernah berdiri di Nusantara, sekalian deh saya buat lembar kerja bagi para siswa kelas ini, yang harus diisi dengan melampirkan foto mereka bersama peninggalan sejarah kerajaan yang mereka pilih. Sambil mengisi LKS, sekalian foto bareng prasasti :)


Lokasi kunjungan belajar yang kedua adalah pameran buku, International Indonesia Book Fair, di Istora Senayan. Supaya para siswa bisa memanfaatkan kunjungan ini, maka ada modal berupa uang saku yang diberikan pada mereka agar bisa membeli buku yang bermanfaat bagi mereka.

Yani dkk pasang mata mencari buku incaran...
... dan Vikram berfoto bareng (foto) Presiden Joko Widodo :)

Friday, October 31, 2014

Liputan Aktual dari Desa Jampang (Bagian 1)

Sekolah kami, SMART Ekselensia Indonesia tidak termasuk sekolah yang menjadi percontohan dan harus menerapkan Kurikulum 2013 ini sejak tahun ajaran lalu. Namun mendadak ada ketentuan Mendikbud mengenai kewajiban pelaksanaan kurikulum ini bagi pembelajaran di semua sekolah tingkat dasar dan menengah pada tahun ajaran ini. Menjelang akhir tahun ajaran lalu pun beberapa guru mewakili berbagai mata pelajaran dikirim mengikuti pelatihan tingkat SMP dan SMA. Iya, saya jadi ikut dua kali, hehe...

Saat dijalani, penerapan kurikulum 2013 ini punya segi seru dan nggak seru. Mulai dari yang nggak seru dulu ya, karena ini paling banyak dibicarakan sejak kira2 dua tahun lalu. Banyak guru dan sekolah yang gundah mengenai aplikasi kurikulum ini karena kurangnya sosialisasi dan penanaman pemahaman; ketidaktersediaan bahan ajar; dan terutama karena banyaknya formulir administrasi pengajaran dan penilaian yang bertumpuk untuk diisi setiap kali mengajar.

Nah, sekarang hal yang serunya ya, tentunya subjektif banget menurut saya. Ini terutama pada hal bahan ajar yang secara struktur berbeda dengan kurikulum 2006 sebelumnya. Karena tahun ajaran ini jam mengajar saya lebih banyak di kelas Sejarah SMA dengan adanya mata pelajaran wajib Sejarah Indonesia di samping mapel sejarah untuk kelas2 IPS, maka pengajaran IPS Terpadu SMP tahun ini untuk kelas 2 saya bermitra dengan ustadzah Vivi. Kami pun sepakat mengenai pengadaan bahan ajar yang akan lebih banyak ditemukan sendiri oleh para siswa, hehe...

Bulan Oktober ini di kelas 8 ada materi mengenai keterkaitan aspek2 lingkungan dengan ekonomi sosial masyarakat. Buku teks kiriman dari Kemendikbud yang kami pegang lebih banyak menyebutkan indikator2, sementara data nyata tentang keterkaitan tersebut harus digali sendiri oleh siswa.

Saya telah membagi siswa kelas 2B menjadi empat kelompok. Masing2 akan bertanggungjawab untuk menggali aspek lingkungan hidup, kehidupan ekonomi, serta kondisi sosial masyarakat di sekitar Desa Jampang, lokasi sekolah kami. Bagaimana menggalinya? Ahaaa... ini bagian serunya!

Wawancara Sumber
Sebagian siswa kelas 2 semester ini sudah aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik bersama klub jurnalistik SDetik. Sedikit banyak sudah ada yang paham bagaimana  mengenali berita dan menggali sumber2 berita, misalnya mencari data dan mewawancarai sumber yang relevan. Pokoknya kegiatan jurnalistik dasar. Untuk tugas ini, saya persilakan setiap kelompok menentukan sendiri sumber yang akan mereka gunakan. Pada waktu pembelajaran yang ditentukan, maka berhamburanlah para siswa ini ke luar kelas dan mencari sumber2 mereka.

Ray dan Gilang mengumpulkan data dari ustad Irsan
Ustadzah Nika diwawancarai Rosyid dan Hafiz 
Hizba dan Rizky mewawancarai Mas Dian
Verifikasi dan Diskusi
Selesai menjalankan pencarian data dan wawancara, semua siswa kembali ke kelas. Tiap kelompok pun berkumpul dan mendiskusikan hasil yang mereka peroleh. Diskusi ini penting karena merupakan bagian perencanaan kunjungan lapangan untuk mencocokkan data pada kegiatan belajar berikutnya.



Persiapan semua kelompok nampaknya sudah siap saat saya inspeksi satu per satu. Kegiatan berikutnya tidak kalah seru. Tunggu di bagian kedua liputan, ya!

Sunday, October 26, 2014

Persembahan bagi Pahlawan Musik Indonesia (Bagian 2)

Kisah ini berhubungan dengan kegiatan belajar Sejarah di kelas 5 IPS SMA SMART Ekselensia Indonesia yang di antaranya diisi dengan menyanyikan lagu karya maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki dan Gesang.

Jam pelajaran Sejarah di kelas 5 IPS diberikan sebanyak 4 jam seminggu, sementara di kelas 5 IPA hanya 1 jam seminggu. Biasanya di kelas IPA kami lebih sering mengulang materi pelajaran Sejarah SMA dari kelas 3, sebagai persiapan ujian sekolah di akhir tahun ajaran. Kami sama2 membahas soal2 yang banyak terlupakan karena saat mereka kelas 4 tidak ada jam pelajaran Sejarah. Kadang saya putarkan juga video pendek yang berhubungan dengan materi yang dibahas, namun secara garis besar, kelas ini tetap bersemangat menjalani pembelajaran yang santai ini.

Bulan lalu, kegiatan pembelajaran kelas bernyanyi yang saya jalankan di kelas tetangga, tak luput dari pengetahuan siswa kelas 5 IPA. Ada dari mereka bertanya, kok kelas ini tidak bernyanyi juga di jam pelajaran Sejarah? Saat itu saya jawab, kelas sebelah punya jam belajar lebih banyak, di sini kan kita mengulang materi dalam waktu terbatas. Itu saja, sudah. Mereka cukup puas dan tidak bertanya lebih lanjut.

Beberapa musim berganti... Bukan. Hanya beberapa minggu berselang, sebenarnya.

Sekolah kami punya kegiatan tahunan yang cukup besar dan melibatkan seluruh komponen sekolah, yaitu Olimpiade Humaniora Nusantara (#OHARA2014). Tahun ini diadakan pada 21-22 Oktober 2014, dengan komando dipegang oleh Ustad Eko guru olahraga. Makin mendekatnya penyelenggaraan acara ini, saya terpikir untuk ikut mengisi panggung. Bukan, bukan saya yang akan bernyanyi atau menampilkan sulap, melainkan para siswa dari kelas Sejarah.

Acara dengan peserta para siswa dan guru dari berbagai sekolah ini, dalam pikiran saya, sangat strategis untuk mengenalkan kembali karya2 dari musisi terkemuka di masa perjuangan kemerdekaan dulu. Gambaran ketidaktahuan para siswa SMART EI tentang siapa itu Ismail Marzuki atau Gesang atau seniman lain dan karya2 mereka, siapa tahu juga terdapat di sekolah lain. Maka saya pun berhasrat agar di panggung #OHARA2014 nanti terselip pula penampilan siswa SMART EI membawakan lagu2 sarat pesan dan sejarah yang sudah lama tak didengar masyarakat ini.

Ustadzah Dini teman seruangan saya merupakan penanggungjawab panggung acara #OHARA2014. Beliau setuju memasukkan penampilan lagu di masa perjuangan itu di panggung. Berikutnya adalah menentukan sang penampil. Baru saja saya sampaikan ide ini pada suatu hari Senin di depan kelas IPS (yang sebenarnya punya siswa bersuara emas), sambutan meriah langsung saya dapatkan secara tidak serentak: "Enggak mauuuu... Ogaaaaah.... Maluuuuu..." dan sebagainya. Dibujuk2 pakai permen atau balon tidak mempan; dikitik2 pakai bulu ayam, saya yang ogah, hehe...

Huh. Ya sudah. Saya menanti keesokan harinya, Selasa pagi, saat siswa2 kelas IPA memasuki kelas. Di sini ide bersambut baik, apalagi kelas ini punya grup band akustik (dengan manajer ustadzah Vera :p) yang sering tampil di aneka lomba di luar sekolah. Nama band ini PassFour, dengan empat anggotanya adalah Fadhli, Dian, Karunia dan Robby. Keempat lagu saya sodorkan, mereka segera berlatih.

PassFour berlatih di kelas Sejarah

Gladi kotor di aula

Alhamdulillah. Persiapan cukup. Tinggal tunggu hari H.

Karunia, Fadhli, Dian dan Robby, menyamakan nada sebelum naik panggung

PassFour diajak foto bareng oleh Abang Jampang :)


Hari H, #OHARA2014 tiba. Penampilan PassFour (yang di hari pertama dibantu narasi oleh Fajar), cukup menarik perhatian, terutama karena lagu jadul yang mereka bawakan jarang didengar telinga anak muda zaman sekarang. Kalau buat saya, penampilan mereka kereeen... (iya, subjektif banget!) karena akhirnya di antara terpaan lagu2 Taylor Swift, Maroon 5, atau Adera yang biasanya akrab di telinga, romansa tahun 1940an bisa hadir. 

Romansa yang bukan hanya tentang keindahan wajah sang Juwita Malam atau wajah pemilik sepasang mata bola, namun juga salam perjuangan dari Stasiun Jatinegara dan kesyahduan Bengawan Solo...

Terima kasih para musisi pejuang. Semoga romansa ini bisa lestari hingga anak cucu kami nanti.

Friday, October 17, 2014

Persembahan bagi Pahlawan Musik Indonesia (Bagian 1)

Suatu pagi sebuah lagu mengalun syahdu. "... Melambai-lambai... Nyiur di pantai..." dan sekonyong-konyong muncul "kuis" di tengah para pendengar alunan lagu tersebut.

"Ini lagu judulnya apa, ya?"
"Aduuh lupa... Tapi ini dulu lagu penutup siaran TVRI setiap malam."
"Waduuuh... Saya kok ga tau, ya?"

Mohon perhatian sebentar, Saudara2. Para pendengar dan komentator di atas adalah sekumpulan guru di sekolah menengah, dengan usia rata2 tiga puluh tahun, terhitung orang dewasa yang sempat mengalami masa ketika Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi satu2nya stasiun pemancar siaran televisi di tanah air. Dengan ketiadaan saingan, tentu semua siaran TVRI diserap oleh segenap lapisan masyarakat, dari berita2nya, artis2nya, dan lagu2 yang disiarkan.

Tapi kali ini saya tidak ingin menulis tentang TVRI atau siaran2nya. Saya tergelitik saat ternyata teman2 seangkatan saya di atas ternyata masih harus menebak2 judul lagu "Rayuan Pulau Kelapa" yang dulu nyaris tiap hari kami dengar baik melalui TVRI maupun RRI. Kalau judulnya saja masih perlu tebak-menebak, bagaimana dengan nama penciptanya, ya? Juga kalau generasi di atas 30 tahun mulai melupa, apa kabar dengan generasi yang belum mencapai 20 tahun, ya?

Atas pertimbangan2 ini, saya jadi kepingin menghadirkan suasana nostalgia a la masa awal kemerdekaan di kelas Sejarah yang saya ampu di SMA SMART Ekselensia Indonesia. Pas banget (atau saya pas2kan lah :p), materi belajar kami di kelas 5 IPS adalah tentang situasi Indonesia di awal kemerdekaan. Jika buku teks lebih banyak mengambarkan situasi sosial-politik-keamanan, maka saya membawa sebuah majalah Intisari edisi tahun 1990an. Di dalamnya ada artikel tentang komponis Gesang, yang mencipta puluhan lagu berlanggam keroncong, namun namanya masyhur hingga ke berbagai negara lewat lagu legendaris "Bengawan Solo".

Sengaja saya rancang materi ini menjadi materi bernyanyi. Tentu yang menyanyi adalah para siswa agar gratis, kalau saya kan minta honor tambahan, hehe... Selain agar suasana belajar santai dan tidak bosan, juga agar para siswa dengan rentang usia 16-18 tahun ini sadar, bahwa musik atau lagu2 tidak semata diciptakan dalam keadaan santai saat negara damai atau dalam mood cinta2an pada lawan jenis. Dua orang maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki dan Gesang, menjadi dua tokoh seniman yang karya ciptanya tetap menggugah hingga kini.

Langkah belajar kelas bernyanyi ini adalah sebagai berikut: Pertama, kelas dengan jumlah siswa 18 orang ini saya bagi menjadi empat kelompok. Masing2 kelompok mengambil kertas undian dengan tulisan judul lagu: "Bengawan Solo", "Jembatan Merah", "Sepasang Mata Bola", dan "Juwita Malam". Bisa ditebak, sangat sedikit siswa SMA zaman sekarang yang tahu judul2 tersebut, apalagi tahu lagunya.

Seorang siswa yang kelompoknya mendapat undian untuk lagu Ismail Marzuki, "Sepasang Mata Bola", malah sempat protes. "Ustadzah nggak salah nulis, nih? Bukannya 'Sepasang Bola Mata'?" Mendengar ucapan itu, malah sepasang bola mata saya yang memutar ke atas. Capek, deeeh...

Langkah kedua, kepada tiap kelompok saya beri lembar kerja. Hanya ada tiga pertanyaan untuk diisi pada lembar kerja itu: tulisan lirik lagu, latar belakang penulisan lagu, serta dampak publikasi lagu tersebut bagi bangsa Indonesia dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Semua pertanyaan ini tidak ada nilai benar atau salah, semua jawaban saya terima sebagai proses belajar. Bahkan mereka saya izinkan mencari bantuan kepada ustad/ustadzah pengajar lain di lingkungan sekolah untuk mencari jawabannya.

Rupanya jawaban atas pertanyaan pertama yang mereka anggap bikin susah. Karena sebagian besar siswa merasa belum pernah mendengar lagu2 tersebut seumur hidup mereka, maka saya hubungkan Embi si laptop saya dengan situs Youtube, mencari penampil dengan lagu2 tersebut untuk disaksikan bersama. Untuk lagu "Jembatan Merah" dan "Sepasang Mata Bola", kami menonton penampilan penyanyi keroncong nasional; lagu "Juwita Malam" ternyata pernah direkam dan dibuat video klipnya oleh grup band Slank; sementara video lagu "Bengawan Solo" yang saya tampilkan membuat para siswa terpukau karena dinyanyikan oleh seorang bule Belanda dengan cukup fasih bersama iringan gitar akustiknya.

Baik, sekarang tidak ada alasan tiap kelompok untuk tidak bisa mengisi lembar kerja. Langkah ketiga adalah penampilan para siswa ini dalam kelompok dengan lagu yang menjadi jatah masing2. Dalam tahap ini, terjadi pergolakan lahir dan batin. Banyak siswa yang menolak penampilan mereka direkam dalam bentuk video. Bisa jadi sebagian khawatir jika video itu saya unggah ke YouTube, akan menjadi awal kesuksesan karir musik mereka dan menyebabkan mereka tidak bisa konsentrasi menempuh ujian nasional untuk kelulusan dari SMA semester depan, huehehe...

Oke, oke... Kami pun berkompromi. Mereka tetap harus berlatih membawakan lagu mereka dengan alat musik pilihan yang ada di ruang musik dan tetap akan direkam, namun tanpa menampilkan wajah dengan jelas. Dua kelompok, yaitu Jajang dkk yang membawakan lagu "Juwita Malam" dan kelompok Somad dkk dengan lagu "Bengawan Solo" direkam oleh saya, minggu kedua September lalu. Sementara untuk pertemuan berikutnya, karena saya ada tugas keluar sekolah, ustadzah Dini yang membantu merekam kelompok Fardin dkk dengan lagu "Jembatan Merah" serta kelompok Agung dkk dengan lagu "Sepasang Mata Bola".

Kelompok Jajang, Andi, Johan, Rofi dan Iqbal bersiap melantunkan "Juwita Malam"
Demikianlah, kisah pertama persembahan kami bagi pahlawan musik Indonesia. Nantikan bagian keduanya, ya... Semoga bisa segera muncul, hehe...

Monday, June 2, 2014

Lanjutan Saat Belajar Menjadi Undagi Abad 21




Kisah ini lanjutan dari kegiatan belajar menjadi undagi abad 21 yang lalu. Karya2 undagi muda modern ini  mulai dirapikan dan dipajang.




Tahap berikut setelah perapian karya, adalah pelaporan kegiatan itu. Setiap siswa pasti punya kesan sendiri saat melakukan praktik karya undagi bersama kelompok masing2. Kali ini, saya menantang mereka untuk melaporkan kesan tersebut dalam bentuk sebuah proyek, tetap proyek bersama kelompok yang sama. Proyek laporan ini berupa pembuatan buletin mini, empat halaman. Isinya, kegiatan yang dilakukan serta kesan mereka sebanyak dua halaman, rangkuman dari berbagai sumber tentang kehidupan di masa praaksara sebanyak satu halaman, dan satu halaman terakhir adalah "investigasi" mereka mengenai beberapa bagian sejarah Indonesia di masa Orde Baru.

Tiap kelas masih terdiri dari empat kelompok. Tiap kelompok saya bebaskan menyusun isi dan desain buletin mereka, nama dan susunan redaksinya, asalkan pembagian halamannya sesuai dengan ketentuan di atas. Oiya, saya juga meminta agar di tiap halaman dimasukkan juga minimal dua foto yang relevan dengan tulisan.

Di laboratorium komputer, mereka beraksi. Pertemuan pertama saya khususkan agar mereka menggunakan jaringan internet untuk mencari materi isi halaman 3 dan 4. Khusus untuk halaman 4 ada pembagian materi yang berbeda untuk tiap kelompok.

Tiap kelompok berbagi tugas di lab komputer.
Ada anggota kelompok mendapat tugas mendesain buletin menggunakan OpenOffice Draw
Kelompok 4 mendapat jatah mencari informasi mengenai berpisahnya Timor Timur dari Indonesia tahun 1999.


Kerjasama kelompok menyelesaikan proyek buletin
Pada pertemuan berikutnya, masih di lab komputer, buletin mini mereka mulai diisi dengan kisah istimewa. Di sela2 persiapan, mereka pun bergaya dengan penuh semangat perusahaan penerbitan masing2.









Dan... delapan buletin mini mengenai materi kehidupan praaksara pun selesai! Semua saya cetak, lalu saya pasang di mading kelas untuk dinikmati bersama. Nikmatnya merasakan teknologi undagi masa praaksara, disambung dengan nikmatnya menyajikan kisah ini kepada pembaca umum.


Berdesak-desak membaca buletin yang tertempel di mading.

Wednesday, May 28, 2014

Belajar Menjadi Undagi Abad 21

un·da·gi kl n tenaga ahli

Definisi di atas datang dari laman KBBI daring milik Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI. Kata ini tidak asing bagi orang yang mempelajari ilmu sosial di tingkat sekolah menengah, karena merupakan bagian materi kehidupan masa praaksara pada pelajaran IPS Terpadu kelas VII dan Sejarah kelas X. Salah satu periode dalam masa praaksara adalah zaman logam,yaitu saat manusia pendukung kehidupannya sudah mampu memanfaatkan logam untuk membuat produk pendukung kehidupan mereka. Karena saat itu mereka menguasai teknik peleburan dan pencetakan benda2 logam, tak kalah pandai dengan keahlian para pandai besi zaman sekarang, maka masa ini disebut pula sebagai zaman perundagian.

Jika hanya belajar membaca definisi dan melihat contoh pada gambar di buku atau internet, mempelajari kehidupan masa perundagian ini tidak ada gregetnya. Kita masih berjarak puluhan ribu tahun dengan masa lampau tersebut. Maka kami di SMP SMART EI membuat terobosan, dengan belajar menjadi undagi!

Selasa (29/4), pada awal pertemuan di dalam kelas, saya beri sedikit pengantar mengenai kebudayaan manusia praaksara, terutama yang dikenal di wilayah Nusantara. Mulai dari zaman batu tua, batu madya, batu muda, batu besar, dan tidak ketinggalan zaman logam. Bagaimana para ahli logam masa itu membuat hasil2 kebudayaan menggunakan logam, yaitu dengan teknik bivalve dan a cire perdue, juga saya jelaskan. Sekarang, saatnya kita mencoba teknik yang sama untuk menjadi undagi di abad ke-21.

Saya membagi kelas dalam empat kelompok, lalu kami bersama2 menuju halaman tengah, yang lebih dikenal sebagai Taman Bundar. Kepada masing2 kelompok, saya berikan sebongkah tanah liat, untuk menciptakan cetakan kreasi mereka. Kalau di teknik asli milik manusia purba, pertama ada bentuk yang lebih dulu dibuat dengan menggunakan lemak hewan yang mudah dibentuk, dilapis tanah liat, kemudian dipanaskan. Saat lemak itu mencair dan mengalir keluar dari lubang yang dibuat pada tanah liat, maka tercipta bentuk kosong di dalamnya. Nantinya ke dalam cetakan tanah liat yang berongga itu akan dituangkan logam cair, yang berikutnya akan mendingin dan menjelma bentuk dari logam yang diinginkan. Pada saat itu tanah liat pun dipecahkan hingga muncul benda logam sesuai cetakannya.

Kelihatannya mudah sekali, kan? Sayangnya kami sulit mendapat lemak serupa itu atau bahan pengganti yang setara. Sebelumnya saya sudah mencoba memakai lilin lampu biasa yang mudah meleleh, tapi ternyata cepat mengeras dan sulit dibentuk. Kemudian plastisin yang mudah dibentuk pun dicoba, dan ternyata sulit dilelehkan. Apa boleh buat, para siswa pun saya minta langsung membuat cetakan berongga dengan tanah liat tanpa mengikuti bentuk lilin terlebih dahulu.




Kelompok-kelompok mempersiapkan aneka bentuk cetakan tanah liat

Tiap kelompok menyelesaikan cetakan mereka. Beragam bentuk mereka buat. Dari mata tombak, miniatur kujang, kupu2, daun, hingga model perhiasan. Cetakan tanah liat ini dikeringkan agar bisa digunakan untuk mencetak logam keesokan harinya.

Dan esok pun tiba. Kali ini ruang belajar kami berpindah ke laboratorium IPA, di mana "alat2 memasak" telah disiapkan, yaitu kompor, wajan tanah liat, dan sendok panjang dari tempurung kelapa (yang tadinya simpanan dapur ibu saya di rumah, hehe...). Wajan dan sendok ini memang dipersiapkan khusus karena yang hari ini akan kami "masak" adalah timah, yang tentunya tidak cocok jika dipanaskan di wajan dan sendok logam. Tak lupa sarung tangan karet yang tebal pun disiapkan untuk kelancaran proses belajar ini.

Peralatan tempur dan amunisi: wajan tanah liat, sendok tempurung kelapa, dan timah batangan.

Waktu belajar tiba. Para siswa memasuki lab dan mempersiapkan cetakan mereka. Saya beri arahan, dan mereka siap beraksi! 


Serunya mencairkan timah dan menuangkannya dalam cetakan

Sudah terlihat serunya? Pasti dong. Dan kelanjutan keseruan belajar jadi undagi ini akan kita lanjutkan di cerita berikutnya ya...

Thursday, September 5, 2013

Kronologi Hidupku...

Tahun ini saya punya jam tambahan baru, yaitu mengajar materi khusus Sejarah untuk kelas 3A dan 3B. Namanya juga "sejarah", saya pun banyak bernostalgia, mengingat kembali materi yang pernah saya ajarkan di tempat tugas saya sebelumnya, SMA Global Islamic School, Jakarta Timur.

Saat itu pertengahan tahun 2004, awal tahun ajaran pemberlakukan Kurikulum 2004. Ada beberapa perubahan dalam struktur (dari TIU dan TIK menjadi SK dan KD), serta muatan isi yang berbeda dengan kurikulum pendidikan sebelumnya, yaitu kurikulum 1994. Misalnya tentang bab pertama, "Hakikat dan Ruang Lingkup Ilmu Sejarah". Siswa dikenalkan kembali dengan sejarah, mulai dari istilah dan pengertian. Setelah kenal, nanti bisa jadi sayang, kan :p

Ini materi baru! Tantangan dalam mencintai sejarah, adalah mengenal sejarah terlebih dulu. Beberapa sumber menyarankan untuk mengantarkan materi ini dengan mengajak siswa membuat pohon silsilah keluarga dan menggali kisah unik yang mereka dapat dari anggota keluarga yang ada dalam pohon tersebut. Saya menjalankan cara ini, dan mendapat banyak hal menarik ketika siswa mengumpulkan tugas pohon silsilah tersebut, sebagian dengan melampirkan foto kenangan mereka.

Di antaranya adalah tugas dari seorang siswa yang memiliki kakek yang gemar menamai putra2nya dengan nama tokoh dunia. Salah satu paman siswa ini, berasal dari suku Sunda,  memiliki nama depan "Ho", karena sang kakek mengidolakan Ho Chi Minh yang merupakan Bapak Bangsa Vietnam :)

Sekarang sembilan tahun berlalu, buat saya, membuat pohon silsilah sudah tidak zamannya lagi. Saya ingin menggali hal yang baru, yang sepengetahuan saya, belum dijalankan oleh guru sejarah sebelumnya. Setidaknya oleh guru sejarah di SMART EI, ya :p.

Pada pertemuan pertama, saya minta para siswa berburu narasumber. Tiga puluh empat siswa berkeliling sekolah mencari 34 orang yang berpendidikan minimal SMA untuk memberikan definisi "sejarah". Terkumpullah 34 definisi tentang sejarah yang dibuat oleh kakak alumni, guru matematika, guru BK, staf administrasi, staf kebersihan, dan lain-lain. Kemudian di kelas, kami bersama menarik benang merah mengenai pengertian sejarah dengan menarik kata2 kunci berikut: "peristiwa", "masa lalu", "manusia", "pelajaran/hikmah".

Karena saya peggemar berat Timeline karya Michael Crichton, dalam pertemuan itu tak lupa saya tuliskan di papan tulis, pendapat Crichton tentang sejarah dalam bukunya itu:

"... if you didn't know history, you didn't know anything. You were a leaf that didn't know it was part of a tree.”

Nah, para siswa ini sudah tak asing dengan cerita Timeline, meskipun ingatan mereka tentu merujuk pada filmnya yang dibintangi antara oleh Paul Walker dan sudah saya putarkan untuk mereka semester lalu. Saya tunjuk beberapa siswa secara acak untuk membuat definisi mereka sendiri mengenai sejarah.

Dalam pertemuan berikutnya kami membahas kedudukan sejarah sebagai peristiwa, kisah, ilmu dan seni. Berbagai pengetahuan dan pengalaman kami jadikan sumber belajar. Saya putarkan juga dua film pendek mengenai Manfred von Richtofen, seorang pilot ace Jerman dalam Perang Dunia I. Satu film merupakan film dokumenter, satu lagi adalah trailer film "The Red Baron" produksi tahun 2008 mengenai jago tempur udara tersebut.

Setelah mereka paham, kami masuk pada kronologi dan periodisasi. Selembar kertas A4 saya bagikan kepada setiap siswa, ada judul yang sudah saya tulis di atasnya, "Chronology of My Life." Dalam kertas itu saya minta siswa menuliskan minimal sepuluh peristiwa yang paling berkesan dalam hidup mereka, dimulai sejak mereka lahir hingga hari itu, Jumat (30/8) yang lalu.



"Waduuh, nulis apa ni?" Satu dua siswa bersuara, lalu celingak-celinguk cari inspirasi. Namun karena yang lain sudah mulai menulis dengan bersemangat, akhirnya semua kepala tampak menekuni kertas di meja masing2, mengisinya dengan tanggal lahir masing2, berbagai peristiwa yang mengiringi, satu per satu, hingga banyak yang akhirnya lebih dari sepuluh peristiwa bersejarah mereka susun di lembar kertas itu, dan mereka kumpulkan di akhir jam pelajaran.

Berikutnya, giliran saya yang bersemangat membaca satu demi satu kisah hidup para cowok belia calon pemimpin masa depan ini. Berbagai cerita standar ada di sana, semisal hari pertama masuk sekolah, baik itu di TK atau SD;  tanggal kelahiran adik pertama dan selanjutnya; tanggal saat dikhitan; serta tanggal pertama kali menginjakkan kaki di SMART EI. Kisah serba pertama yang unik pun ada: pertama kali juara kelas, pertama kali naik pesawat udara, atau pertama kali naik Kereta Rel Listrik.

Yang unik adalah cara penulisan mereka atas peristiwa standar tersebut. Untuk menulis kelahiran, ada yang menuliskan "lahir" saja, ada yang "menghirup udara dunia pertama kalinya di rumah tercinta", "pertama kali membuka mata dan merasakan indahnya dunia", "mengeluarkan suara untuk pertama kalinya di koto tuo", "melihat betapa luasnya ruang lingkupku setelah sebelumnya berada di ruang yang tidak terlalu luas", hingga "menghilangkan kekhawatiran Abiku kepadaku dan Ummiku dengan lahirnya aku ke dunia yang fana dan menjadi anak ke-4." Sungguh kumpulan kisah kelahiran yang tidak membosankan :)

Ada lagi, penulisan kisah khitan mereka. Seorang siswa cukup menulis "Sunat. Sakit..". Ada yang dengan tambahan lain, "Disunat + dapat sepeda baru", juga ada yang menuliskannya dengan "melakukan sunah Rasul, yaitu sunat", atau "mengalami proses menuju kesempurnaan seorang muslim dengan bersunat", atau "saya mengalami bentuk baru (sunat) dan di rumah bagaikan raja, dilayani dan banyak uang". Haha... kocak ya?

Di luar kejadian standar yang dialami setiap remaja putra itu, ada beberapa peristiwa berkesan yang mereka tak mau mengulanginya. Ada yang pernah tertimpa buah durian, atau batu bata di kepala.
Beberapa siswa juga mengingat  gempa bumi yang mereka alami di daerah mereka masing2, yaitu di Yogyakarta dan Sumatera Barat. Sebagian ada yang mengalami kerusakan rumah yang berat sehingga harus tinggal di tempat pengungsian hingga rumah mereka selesai direnovasi.
"2006 - Gempa Jogja yang menyeramkan. Malam gelap penuh petir, hujan, & listrik padam serta tidur di tenda karena rumah tak layak pakai lagi," cerita Ilyas dari Kabupaten Bantul.
"30 September 2009 - Ranah Minang menangis. Gempa bumi meluluhlantakkan Minangkabau. Setengah dari rumahku hancur," tulis Afdhal Firman dari Pariaman.

Tapi ada juga yang mejadikan banjir musiman yang dialami sebagai kisah kenangan yang menyenangkan. "Tahun 2004 - kampung saya kebanjiran besar banget. Tahun 2007 - kampung saya kembali mengalami banjir besar... Tahun 2010 - kampung saya kebanjiran lagi dan sekolah saya terendam air, karena sekolahnya di tebing sungai dan jalan ditutup maka dari itu sekolah diliburkan selama 2 minggu," kisah Azmy dari Bengkayang, diikuti dengan simbol Mr Smiley yang tersenyum lebar.

Buat saya sendiri, ada satu hal yang muncul tanpa disangka. Sebuah penugasan yang tadinya saya pikir biasa saja, rupanya oleh beberapa siswa menjadi hal yang tidak biasa, menjadi semacam refleksi atas kehidupan yang mereka jalani selama ini.

Banyak di antara siswa2 ini yang menjadikan tanggal pengerjaan tugas ini sebagai penutup kronologi kehidupan mereka. Sebagian besar menulis semacam ini: "30 Agustus 2013 - menulis hal2 di atas" atau "30 Agustus 2013 - menulis kronologi ini." Ada pula yang seperti ini: "30 Agustus 2013 - Belajar sejarah bersama Ustadzah Vera, materi kronologi."

Makin banyak yang saya baca, hati saya jadi meleleh. Seorang siswa menulis bahwa tanggal 30 Agustus 2013, ia "Mengingat kenangan masa laluku nan indah." Siswa lain mencatat, "menulis dan mengingat kembali masa lalu yang hampir terlupakan seperti di atas." Atau yang ini, "Menulis kronologiku dengan perasaan yang campuraduk." Setiap kali membaca sampai sini, perasaan saya pun ikut campur aduk. Mata berkaca2, dada terasa sesak. Sebenarnya perasaan ini sulit saya ungkap dengan kata2. Semacam senang, terkejut, juga merasa dipercaya dan dihargai. Dan terutama, rasa terimakasih.



Siswa2ku tersayang, terimakasih. Hari ini juga saya mencatat kebersamaan kita di kelas, sebagai refleksi bahwa masa lalu bisa saja berlalu, namun kenangannya akan selalu menyertai untuk membangun masa depan yang Insya Allah, jauh lebih baik.

*dan dada saya terasa sesak lagi...

Sunday, August 18, 2013

Napak Tilas Proklamasi Kemerdekaan 2013


(judul posting ini standar banget siy... Ga ada yang lain? *getok yang bikin judul *kesakitan sendiri :p)

Saat di kelas sebelum mulai libur lebaran lalu, saya sempat sampaikan pada para siswa kelas 2 di SMART EI, bahwa biasanya ada acara napak tilas proklamasi kemerdekaan RI yang diadakan di Jakarta. Tahun ini kalau bisa sih saya akan usahakan agar siswa SMART bisa ikut kegiatan ini. Pas banget, kan saat ini kami sedang mempelajari bab peristiwa seputar proklamasi dalam pelajaran IPS Terpadu

Banyak tangan teracung ke atas, menyatakan mau ikut... mau ikut, begitu seru mereka. Benar mau ikut, walau acara ini diadakan saat kalian masih libur? pancing saya. Iya, iya, nggak apa2, yang penting jalan2 ke Jakarta... jawab mereka lagi.

Saya tidak bisa langsung menunjuk siapa saja yang bisa ikut, karena acara ini masih harus saya pastikan dulu. Googling sana sini, kirim SMS dan pesan whatsapp kiri kanan, eh belum ada kabar jelas. Yah, biar jelas, mari kita langsung datangi sumbernya.

Hari Rabu (14/8) saya pun berkunjung bersama dua adik sepupu saya ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini cukup mudah dijangkau dengan kendaraan umum dari arah Senen, Kampung Melayu atau Ciputat via Bundaran HI.

Kami tiba menjelang pukul 3 sore dan museum yang sekitar 68 tahun lalu menjadi tempat kediaman Laksamana Tadashi Maeda itu lumayan sepi. Saat itu mungkin cuma ada belasan pengunjung, sudah termasuk beberapa wartawan media cetak dan televisi. Mungkin mereka dapat tugas liputan pendahuluan untuk feature peringatan proklamasi kemerdekaan RI.. (mantan redaktur sotoy beraksi kembali :p)

Tidak ada orang yang kelihatan sebagai petugas atau pemandu museum itu, kepada siapa kami mungkin bisa menanyakan berbagai hal baik mengenai museum maupun acara napak tilasnya. Kami berkeliling di bangunan dua lantai sambil celingak celinguk. Ruang yang terbuka kami masuki, foto dan poster yang ada kami nikmati. Adik saya sampai berkomentar, rumah zaman dulu ini banyak sekali kamar mandinya, ya? :) Kepada seorang petugas keamanan yang berada di depan gedung, akhirnya saya bertanya tentang acara napak tilas proklamasi, dan saya pun diarahkan ke kantor museum di bangunan belakang rumah utama.

Di kantor itu saya menjumpai Ibu Nenny dan Ibu Finna, panitia acara napak tilas tahun ini. Waktu saya menyatakan keinginan agar siswa SMART EI bisa ikut napak tilas proklamasi, bukan saja keinginan itu bisa dipenuhi, tapi bahkan kami ditawari pula untuk ikut napak tilas "penculikan" Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok! Kabarnya ada sekolah yang sudah terdaftar, kemudian membatalkan keikutsertaan siswa-siswa dan guru pendampingnya, pada hari kegiatan ini, yaitu Kamis,15 Agustus 2013. Wah, ini melebihi harapan kami, sebenarnya. Maunya sih kesempatan ini diambil (saya juga belum pernah ke Rengasdengklok, lho! *ga ada yang nanya :p). Tapi berhubung undangan ikut acara napak tilas ke Rengasdengklok itu diberikan cukup mendadak, sulit bagi saya melakukan koordinasi dengan pihak asrama dalam waktu yang singkat itu.

Singkat cerita, kami mendapat undangan resmi untuk berpartisipasi dalam napak tilas proklamasi tahun ini. Esoknya saya pergi ke sekolah, mengurus peminjamam mobil dan izin keluar asrama,  Nama-nama sepuluh  sepuluh siswa yang akan ikut sudah diumumkan, diiringi perasaan sedih beberapa siswa lain yang berharap bisa ikut juga. Ternyata oh ternyata, saat keberangkatan hari Jumat pagi (16/8), "Dua orang batal ikut," lapor ustadzah  Uci yang mengantar dari sekolah. Uhh, pasti mereka menyesal, karena acara napak tilas ini begitu seru dan bikin ketagihan, hehe...

Ini saya kirim fotonya dulu ya...

Kumpul di tangga

Berfoto bersama di depan foto "empunya rumah", Tadashi Maeda
Haidar dan Ghiffar ikut "hadir" dalam perumusan naskah proklamasi
Menemani pengetikan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia
Foto bareng lagi, bersama perbesaran naskah proklamasi



Persiapan berangkat, dan rombongan napak tilas
Bertemu "pejuang kemerdekaan" saat napak tilas menuju Tugu Proklamator
"Napak tilas" menjadi proklamator
Akhirnya dapat juga ruang berfoto bersama di depan Tugu Proklamator...