Saturday, July 28, 2007

Bedside Books

I used to read books before sleep, especially when I can't sleep easily. The books I picked are various, depends on my mood at the time.

But there are three books that are regular on my bedside since the beginning of this year.


First, Gavin Menzies', 1421, The Year China Discovered the World.

I bought this book last December on Indonesia Book Fair. The real prize was Rp75000, but I got it for only Rp49000 (still one of the expensive books I've ever bought).

The book's content amazed me. It's a kind of re-writing world history that attempted to tell us that Magellan, Colombus and other Western discoverers were only followers of a path built by Chinese sailors under the command of Zheng-He (or Cheng-Ho, his popular name in Indonesia) on Emperor Zhu-Di era.


I like Menzies' style in writing. Seemed that he's trying to be honest, because the greatest part he did for the book was arranging other people's work ; he wondered everytime he found a match in his research; he wanted to make sure that the proof are not coincidences. He showed that he's only a writer for things that alresdy exist, for history that never be written in decent manner.

You may find many discussion and critics about the book when you surf on internet. Americans, many of them, don't feel comfortable about replacing their superior Colombus with Chinese wanderers they never heard before. As for me, I do not have enough scientific authority to judge whether all the writer said in the book are true or not, but I really respect all research he's done for the book. He said it took him forty years of research; here, there and everywhere. He went to many parts of the world in finding and matching the proof to support his theory. It inspired me, at least to think that when there's a will, there's a way, especially when I get stuck in finishing one of my writing work.

For me, it's still a book on my priority list to read again and again.


Second, it's Javier Cercas' Soldados do Salamina.

Here's a book that I would like to copy for my own book (someday! I'm still working on it). Not the story of course, but the way the writer doing. Like Menzies, Javier Cercas is the main character; he made series of research and interviews before presenting the story to be printed. He also tried to be humble, he told situation he faced in unifying the stories he collected from many sources, the confusion he felt upon them, and how he finally decided to present them.

The story itself was a story I've never aware before. The background is civil war in Spain in late 1930s. I found out that a Spanish movie was made based on this book. I think because the topic is not familiar or interesting for Indonesian readers, I'm very lucky to have this book only for Rp10000, about a year ago in Jakarta Book Fair.

And here's the third book: Terrence Cheng's Sons of Heaven.

The latest book I bought in last Jakarta Book Fair, June 2007. If you go to major bookstores, the prize is about Rp55000, or you may save 20% if you directly order it from the publisher. Lucky me again, I only had to pay Rp20000 in the Book Fair.

The story is fictitious, but the background is real, kind of historical story I like to explore. It's about the life of a Chinese boy graduated from America and found himself involved in student movement in Tiananmen Square, Beijing, June 1989. The interesting part of the book is the writer put three persons' point of view to relate the events. When I read about "the dictator" part that represents Kamerad Deng Xaoping, I must force myself to put in mind that doing research seriously is important, even if I want to create an imaginary story.

Why do I still put these books on my bedside? Because they make me contemplate about many possibilities in life, particularly in our young age. You'll never find out what life is like if you never open your shell and go out. You can't say that know someone very well, even your beloved one, before the hardest thing happen and reveal the truth about to them.

Oh, I have to confess something. Just because I put the book covers on English and Spanish edition, it doesn't mean that read them in the original version. It's the result of the searching on google, I put the covers only to impress you. And to intimidate you as well because I use English for my blog postings. Thanks to the translators work for Alvabet and Serambi publishers, I've read the Indonesian version.
Go, now. You may read them if you want.

Belajar Bersama Pak Guru Uban


Membaca buku Rahasia Meede karangan E.S. Ito (2007) membuat saya berkontemplasi. Lama, lebih dari seminggu sebelum akhirnya saya menyelesaikan posting ini. Hasilnya, beberapa ironi.

1.
"Pak, mengapa kita harus belajar sejarah?"
...
Guru Uban menatapnya lama. Bagi guru sejarah lain tentu pertanyaan ini akan mengundang amarah, paling tidak rasa kesal. Tetapi, Guru Uban bijak menanggapinya.
"...Bayangkan jika kamu tidak tahu sejarah namamu, apa yang terjadi, Anakku? Namamu tidak akan memiliki arti apa-apa. Belajar sejarah tuuannya agar kita memberikan arti pada masa sekarang. Supaya tidak ada ruang hampa dalam hidup ini. Dengan berpikir seperti itu kalian akan menghargai setiap garis kehidupan yang kalian jalani. Kita tidak perlu kaya dan berkuasa untuk menikmati hidup."

Lebih tiga tahun lalu saya juga mendapat pertanyaan yang sama dengan yang diajukan oleh murid Pak Uban di atas, dari salah seorang siswa di kelas saya. Saat itu saya baru meminta para siswa kelas 2 SMA itu membaca bab perkembangan renaisans di Eropa, waktu siswa ini meminta perhatian saya dan menanyakan pertanyaan tersebut.

Sebagai guru yang belum satu bulan hadir di kelas itu, saya tidak marah. tidak kesal (dan sebenarnya juga tidak bijak as well). Saya balik bertanya, "Memang kenapa kamu nggak senang pelajaran sejarah?"
"Ribet, banyak hafalan nama-nama orang, tahun-tahun... Nggak kayak pelajaran IPA."
"Memang di fisika tidak ada hafalan rumus-rumus? Satuan dan konstansta? Atau di biologi, kamu bukannya harus hafal urutan kingdom sampai species? Kamu kan juga harus hafal susunan berkala unsur kimia?"
Gadis kelas 2A ini terdesak. "Yah, pokoknya saya nggak suka... Teman-teman lagi juga."
"Yakin?"
"Maksud Miss Vera?"
"Kalau memang semua teman kamu nggak suka sejarah, coba buat petisi anak-anak sekolah seluruh Indonesia, menolak pelajaran sejarah di sekolah. Tentunya kamu harus membuat jaringan siswa SD-SMA dari Sabang sampai Merauke. Lalu buat penelitian ilmiah, tanya pendapat mereka, setuju atau tidak pelajaran ini dihapus dan apa alasannya. Kalau seluruh anak sekolah setuju dan memberi alasan logis-rasional mengenai penghapusan pelajaran ini, sampaikan pada pemerintah. Atau kirim ke media massa. Bisa kan?" tantang saya.

Nekat. Sebenarnya saya terbayang kalau-kalau ada sekelompok siswa yang bosan sejarah benar-benar akan membuat petisi tersebut, lalu kebetulan orangtuanya adalah Mendiknas sayang anak. Dalam waktu singkat ribuan guru sejarah terpaksa harus bisa mengajar sosiologi. Atau agama Islam. Atau kimia (sub-bab menghitung usia fosil dengan uji C-14).

Tapi, alhamdulillah. Belum, belum saatnya khawatir.

"..." Murid saya yang bertanya tadi membayangkan penelitian ilmiah dengan responden seluruh siswa dari Sabang sampai Merauke. Mulai terbayang langkah terjal menghadang ambisinya. Saya cungkil lagi peluang (tipis)nya.
"Atau masih ada cara lain. Pelajaran bisa diangkat dari kurikulum ... asal kamu bisa meyakinkan orang-orang di (Departemen) Diknas."
"Gimana caranya?"
"Yaaa... kamu harus jadi Mendiknas dulu."
"Yeee... lama banget!"

Salah seorang kawannya mendekat dan tertarik dengan diskusi kami.
"Tapi kan sejarah asyik," kata siswa kedua. "Seru lagi, baca tentang Revolusi Perancis, Perang Dunia, Perang Dingin..."
"Kamu tahu tentang Perang Dingin?" tanya saya, agak terkejut karena seseorang dari kelas ini ada yang mendului kehendak penyusun kurikulum. Perang Dingin yang saya pelajari intensif saat kuliah adalah materi semester terakhir kelas 3 SMA.
"Persaingan Blok Barat dan Blok Timur, kan?" jawab siswa kedua.
Aha... saya senang. Belum juga tercipta jaringan pelajar nusantara anti-pelajaran sejarah, dalam satu kelas ini sudah ada pelajar cinta pelajaran sejarah.

"Jadi, kita belajar sejarah untuk apa, Miss Vera?"
Seya selalu siap menjawab pertanyaan ini. Setiap memulai pelajaran sejarah di sebuah kelas baru, saya kutip sebaris kalimat yang dituliskan Michael Crichton (untuk tokoh Profesor Edward Johnson dalam Timeline). Kali ini jawaban pusaka itu saya tuliskan di papan tulis:

"Seseorang yang tidak tahu sejarah sama seperti sehelai daun yang tidak tahu bahwa dirinya adalah bagian dari sebatang pohon."


Tidak semua siswa langsung mengerti. Biar saja. Kan tidak semua daun memang pernah belajar sejarah ... :)

2
...
Guru Uban berhenti lagi sejenak. Narasi tanpa bukunya memukau anak-anak tidak beruntung itu. Generasi sekarang butuh cerita. Ya, sebuah cerita yang menjadi hantu moyang mereka pada masa silam...
... Dia perhatikan siswanya satu per satu. Sebagian mencatat narasinya. Sebagian lagi melongo, diam, membayangkan pekerjaan sebagai buruh pabrik atau tenaga kontrak lainnya. Guru uban mengerti, cerita sejarah ini dapat cepat berlalu dari kepala anak asuhnya. Secepat masa depan merengkuh mereka yang ringkih. Secepat impian mereka ditelan realitas dunia yang tak adil.

Cerita itu kembali memukau murid-murid kelas dua sosial itu. Inilah dunia lain di luar keseharian yang membosankan di gubuk-gubuk di pinggir rel kereta. Dua orang murid yang hendak minta izin ke belakang mengurungkan niat. Mereka ingin tahu kelanjutan cerita Guru Uban.

Metode active learning dalam beberapa tahun terakhir menjadi barang dagangan paling menjual dari sekolah-sekolah Indonesia (selain embel-embel "bilingual"). Dalam metode ini peran guru sebagai pusat pembelajaran saat berlangsungnya KBM direduksi besar-besaran. Guru selayaknya hanya menjadi "fasilitator", siswa lah yang harus aktif dalam kegiatan belajar dengan menggunakan berbagai sumber. Ada yang melihat masalah di sini?

Semoga tidak ada. Tapi saya melihat kenyataan. Banyak guru yang dianggap "kuno" dan "tidak maju" saat menjalankan metode ceramah dalam penyampaian materinya. Apa pasal? Metode ceramah sekarang disamakan dengan "indoktrinasi", "dogmatis" dan "tidak demokratis" karena hanya satu arah. Berbagai metode pengganti telah menanti: model kelompok ahli, role play, proyek penugasan, dan lain-lain. Metode ini akan menjadikan siswa lebih cerdas dan kreatif, katanya. 

Padahal dalam pengalaman saya bersekolah, tidak selalu metode ceramah itu membosankan. Guru-guru saya sejak SD-SMA di sekolah-sekolah negeri biasa dulu banyak mengajar dengan ceramah. Memang tren-nya masa itu demikian, kan? Ada juga kerja kelompok, tapi tidak tiap hari. Bahkan  guru matematika saya di SMP selalu mengawali pelajarannya dengan tausiyah selama 10-15 menit sebelum menyampaikan mengajarkan matriks dan turunan (sampai-sampai saat lulus SMP saya bertanya pada adik kelas: Pak Kus sekarang sudah mengajar agama Islam atau masih mengajar matematika? :D). Setelah saya ingat betul-betul, tidak ada guru yang setelah berceramah kemudian bersabda: "Harus begini! Selain yang saya sampaikan ini adalah salah!" Semua guru saya selalu membuka kesempatan dialog dan bertanya, kalau-kalau saya tidak mengerti atau tidak setuju.

Intinya seperti Pak Guru Uban, guru haruslah orang yang menguasai ilmunya. Ia harus menggugah siswa bahwa ilmu akan berkembang jika dipelajari, bukan dihafal. Ia bukan diktator yang memutuskan apa yang benar dan apa yang salah dalam sebuah ilmu yang sedang berkembang. Sebagai fasilitator, guru bisa menggunakan apa pun yang membuat diri dan siswanya nyaman dalam proses pembelajaran. Apalagi salah satu fungsi guru adalah performer. Kalau guru itu bisa bercerita dengan memukau seperti Guru Uban dan sekolah tempatnya mengajar kekurangan sarana belajar seperti buku teks dan alat peraga, haruskah guru tersebut dianggap ketinggalan zaman?

Seringkali dalam beberapa pertemuan antarguru dari berbagai sekolah, atau dalam dengar pendapat  dengan birokrat dari Depdiknas, saya menemui kegamangan dari rekan-rekan guru tersebut. Intinya mereka setuju kalau metode pembelajaran aktif ini bisa digalakkan, karena kan bisa membuat guru tidak usah repot-repot membuat catatan untuk dicekoki kepada siswa di mana keluaran yang diharapkan biasanya adalah hafalan. Tapi belum semua guru ini siap. Proses yang mereka lalui untuk menerapkan metode baru ini tidak bisa sekejap mata. Sayangnya pihak sekolah yang berada di bawah komando  Dinas Pendidikan punya penilaian yang instan. Lama-lama Pak Guru Uban bisa tersingkir.

3
...
"Sudahkah kalian belajar akuntansi?"
"Sudah Pak," jawab tiga puluh empat siswa nyaris serempak.
"Pembukuan, jurnal, buku besar, debet dan kredit?"
"Ya, Pak."
Harijan, anak-anak malang, ucap guru itu pelan pada dirinya sendiri. Mereka tentu diajarkan praktisnya saja, bukan filosofinya.
..."Anak-anakku, kalian tentu bertanya-tanya, apa hubungannya penjelasan sejarah akuntansi yang panjang lebar dengan lanjutan materi sejarah kedatangan Belanda..."
"Betapa indahnya sejarah sebuah ilmu," lanjut Guru Uban beharap ucapannya melamunkan murid-murid malangnya pada impian dunia lain. "Tetapi petaka bagi sebuah ilmu apabila jatuh pada orang yang salah. Itulah yang terjadi pada ilmu akuntansi. Dia tumbuh menjadi perawan tua yang membosankan. Sebuah tangan jahat kemudian meminangnya. Kalian tahu, tangan siapakah itu?"


Semua ada formulanya. Itu kata iklan perusahaan sikat gigi (dan pasta gigi). Pak Guru Uban sekali lagi, disadari atau tidak, mengajarkan pada kita semua bahwa semua hal yang ada di bumi ini ada ilmunya.

Semestinya semua guru atau para penguasa ilmu, bisa paham dan menguasai juga akar dari ilmu yang mereka ajarkan. Guru akuntansi jangan hanya bisa mengajarkan peletakan angka-angka pada kolom debet dan kredit. Guru fisika baiknya tak hanya tahu-tahu mengajarkan rumus pencarian tegangan listrik V = I x R. Guru Bahasa Inggris mustinya sedikit tahu silsilah irregular verbs sebelum menyuruh siswa menghafalnya. Guru kimia pun baik tahu riwayat sebuah unsur bisa diletakkan pada tabel susunan berkala. Para guru seharusnya tidak hanya bisa meminta siswa meletakkan jawaban yang benar, tetapi juga harus tahu, ada apa di balik rumusan yang mereka ajarkan.

Suatu ketika saya berdialog dengans seorang pengajar geografi. Dia sedang mengajarkan materi letak selat, laut dan terusan di dunia. Saat membincangkan terusan Suez, dia tidak tahu bagaimana asal-usul terusan tersebut bisa menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah. Siapa itu Ferdinand de Lesseps? Apa yang dilakukan Gamal Abdul Nasser terhadap terusan ini di tahun 1956? "Yeee... itu mah pelajaran sejarah, Ver! Bagian elu, bukan gue." Nah! Capek deeeh... :)

Pokoknya demikianlah! Ironi ini bisa lebih panjang. Siapa tahu saya bisa bertemu banyak guru lain yang punya pendirian sama seperti Pak Guru Uban, bahwa mengajar itu harus dengan hati dan cinta. Bukan sekedar demi kredit atau sertifikasi dan akreditasi. Apakah siswa-siswa kita kaya atau tak mampu, pandai maupun tidak, mereka berhak mendapat ilmu yang lengkap.

Asal jangan ada guru-guru ini punya pekerjaan sampingan seperti Pak Guru Uban: pembunuh profesional dengan nama sandi Melati Putih. Hiii...  

(Pindahan dari www.nverad.multiply.com/journal/item/27)