Tuesday, December 1, 2009

Sang Juara... Lagi!

Namanya Muzaki Ahmad, murid saya di kelas 2B SMART EI. Umurnya baru akan 14 tahun pada Januari tahun depan. Asal Bekasi, tapi keluarganya kini tinggal di Yogyakarta.


Dan dia baru memenangkan hadiah pertama penulisan cerpen siswa SMP tingkat nasional yang diadakan oleh Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (cek di sini).


Yang senang bukan cuma dia, tapi juga bu guru Vera yang gembira bisa sedikit merapikan cerita (tragis) karyanya. Nah, sepertinya bangga sekali Zaki berfoto di depan Rektorat UI pada Senin siang lalu saat kami datang mengambil hadiah (hmm... hadiahnya sih diambil di FIB, tapi di sana latar belakang fotonya kurang asik, hehe...). Padahal dia kan baru akan kuliah paling cepat tahun 2012, tiga tahun lalu selulus SMA. Dan sebenarnya dia lebih memilih ITB (heeey, pilihannya Jurusan Teknik Penerbangan, seperti pilihan saya dulu, lho! *numpang narsis, padahal ga diterima, hehe...*).


Tapi tak apalah... yang penting ada fotonya di UI. Hehe...

Wednesday, November 25, 2009

Sebuah Pesan Pendek di Hari Guru

Sebulan terakhir, meninggalkan ponsel di rumah kok jadi semacam kebiasaan. Sampai tiga kali lho, kan nyusahin. Apalagi kalau ternyata ketinggalan di Jakarta, repot sekali menjemputnya dari Parung, yang dalam keadaan normal saja butuh 2 jam waktu perjalanan. Alhamdulillah, masih "sekadar" ketinggalan, di rumah sendiri pula, bukan hilang seperti dua kali kejadian dalam setahun terakhir. Hiiii... sudah cukup deh! Jangan lagi...

Eh, pagi ini kejadian lagi. Mungkin karena terlalu banyak barang yang saya angkut ke sekolah hari ini, sementara si ponsel itu sebelumnya bertengger tenang di atas lemari sedang diisi ulang baterainya. Untung lagi, hanya tertinggal di kontrakan, 30 menit pulang-pergi naik angkot. Ya sudah, tadi lepas jam 8.30 saya ambil.

Ternyata ada pesan baru, "Terimakasihku atas oase dan pijaran ilmu yang memenuhi di setiap langkah keikhlasan. Selamat hari guru. Semoga menjadi guru kehidupan."

Mata saya mengerjap-ngerjap. Bukan kelilipan. Terharu.

Pesan itu dikirim oleh Mahbubi, salah seorang siswa SMART EI angkatan pertama yang sudah lulus dan kini melanjutkan studi di STAN. Sebuah pesan tulus yang membuat saya sedikit merinding (memang seharian ini Parung dingin banget, sih!). "Semoga menjadi guru kehidupan..."

Terimakasih muridku sayang. Kami tak putus berdoa supaya generasimu menjadi kelompok insan yang lebih baik daripada generasi kami.

Sunday, June 28, 2009

Mengapa Harus "Dhuafa dan Cerdas"?



Melalui facebook, seorang teman yang berdinas di Depdiknas mengomentari tulisan saya sebelum ini, "Selamat Datang...!" Satu hal yang sudah mengganggunya sejak lama adalah mengapa beasiswa seperti yang diberikan oleh Dompet Dhuafa untuk bersekolah di SMART Ekselensia Indonesia ini dipersyarakatkan bagi lulusan SD yang "dhuafa dan cerdas".

"Mengapa harus cerdas? Bagaimana dengan mereka yang dhuafa tapi tidak cerdas, apakah mereka tidak ada hak memperoleh pendidikan yang baik?" gugatnya.

Saya bingung menjawab teman ini. Saya khawatir pemahaman saya tentang kebijakan pemberian pendidikan bebas biaya di sekolah saya akan dianggap tidak masuk di nalar kandidat magister pendidikan ini. Saya tidak biasa menggunakan bahasa tinggi dengan jargon2 ilmiah. Jadi bahasa saya sederhana saja menjawabnya. Begini,

"kalo boleh beramsal, di halaman rumah cuma ada sepetak tanah yang cukup buat sebatang pohon nangka, sementara bibit nangka ada 200. pasti bibit terbaik yang dipilih. bagusnya sih memang ada halaman lain kan buat menanam 199 bibit lain. bisa tolong cariin nggak, bu? :p"

Semoga beliau mengerti ... :D

Saturday, June 27, 2009

Selamat Datang...!

Akhirnya, selamat datang Angkatan Keenam!

Setelah pembentukan panitia seleksi nasional pada Oktober 2008 lalu, 
publikasi seleksi pada November 2008 hingga akhir Februari 2009, 
puluhan panggilan telepon dan layangan email,
pemasangan "iklan" di puluhan milis dan blog,
banjiran ratusan berkas pendaftaran dari segala penjuru nusantara,

disusul ujicoba soal, kemudian tes akademik, tes psikologi, 
ratusan kilometer kunjungan ke rumah calon siswa...
(di sinilah para mitra daerah yang sangat hebat beraksi!)

kami harus menentukan. Sebuah keputusan penting bagi para cendekiawan muda nusantara yang berbakat besar untuk dapat menyalurkan potensi akademis cemerlang mereka. Sebuah peluang untuk masa depan mereka tanpa harus memikirkan biaya yang akan ditanggung keluarga...

akhirnya, 30 siswa lulusan SD dari Sumatera hingga Papua, akan segera bergabung bulan Juli 2009 sebagai siswa Angkatan Keenam SMART Ekselensia Indonesia, di tahun akademik 2009/2010.

Terimakasih banyak untuk rekan panitia seleksi pusat maupun daerah, pemerintah daerah, para psikolog, rekan-rekan wartawan media cetak dan online, para miliser dan blogger, yang sudah menyebarkan informasi dan membantu pelaksanaan seleksi siswa baru SMART Ekselensia Indonesia tahun ini. Juga kepada seluruh orangtua yang mempercayakan putra kesayangan mereka untuk berani mengeluarkan potensi terbaik mereka bersama kami di Bogor ini.

Selamat datang, sahabat-sahabat pembelajar sejati!

*daftar siswa yang diterima di SMART EI untuk tahun akademik 2009/2010 dapat dilihat di harian Republika, Jumat 26 Juni 2009, halaman 7*

Foto: Angkatan Kelima SMART EI, dalam pelatihan Quantum Learning, Parung, Agustus 2008.

Sunday, June 21, 2009

Kami Belajar Globalisasi

Materi kelas 2 SMART Ekselensia Indonesia tahun ajaran 2008/2009.

SK: Memahami perubahan pemerintahan dan kerjasama internasional.
KD: Menguraikan perilaku masyarakat terhadap perubahan sosial budaya di era global.

Hasilnya: makalah dan presentasinya dengan tema: "Pemuda dan Globalisasi"


Sampul kumpulan makalahnya 



Giliran Makmun berpresentasi terakhir

Presentasi makalah Sandi: "Pengaruh Globalisasi terhadap Akhlak Remaja Muslim Indonesia"

Ustadz Haryo memberikan pandangan

Friday, June 12, 2009

Berbagi (Cerita) Buku

"Apa gunanya banyak baca buku 
Kalau mulut kau bungkam melulu" 
(Wiji Thukul)

Hajatan kami di SMART Ekselensia Indonesia, tiap minggu sekali.

Kegiatan ini awalnya tahun ajaran lalu. Sudah tahu ya, para siswa di sekolah kami begitu mencandu membaca buku, terutama buku bacaan, dan tentunya komik lah :). Silakan cek pada daftar peminjaman buku di perpustakaan, betapa satu anak rata2 dalam sebulan membaca 5-6 judul buku dengan tuntas (bukan buku pelajaran ya...). Guru2 mereka pun kalah...!

Tentu sayang kalau mereka hanya membaca saja, seperti tulis Wiji Thukul, tukang becak-penyair yang hilang pada musim penculikan aktivis oleh rezim Orde Baru. Jadinya, saya mengajukan sebuah kegiatan "berbagi cerita buku" atau book sharing yang dilakukan sekali setiap minggu dalam apel pagi hari Selasa. Tujuan saya, selain mengharapkan semua siswa mau berbagi pengalaman membaca buku kepada teman2nya yang lain, ia juga akan mampu menganalisis hikmah yang terkandung dalam bacaannya. Dan tujuan yang tak kalah pentingnya adalah agar siswa sekolah kami yang bisa dibilang jarang berinteraksi dengan "dunia luar", dapat memupuk keberanian untuk tampil di depan umum secara pantas (walau sementara ini, "kalangan umum" ini masih terbatas pada teman2 dan guru2nya sendiri.

Pertama kali muncul untuk berbagi cerita ini, Agustus 2008, paling afdol dimulai dari siswa kelas tertinggi, kelas 5. Waktu itu Mahbubi yang maju membagikan pengalamannya membaca buku Edensor karangan Andrea Hirata, pengarang favoritnya (dan yang membuat saya lumayan geer disebabkan buku yang dibaca Bubi itu dipinjam dari saya, hehe...). Lalu berlanjut ke kelas-kelas lain, berputar-putar... hingga satu tahun kegiatan ini terlaksana setiap Selasa pagi.

Lebih sering ada drama, karena ada saja siswa yang mengklaim tidak siap untuk berbagi cerita dengan teman2nya. Alasannya belum baca buku yang menarik, atau yang paling jelas adalah malu. Iya, masih saja ada siswa kelas tinggi (kelas 4-5) yang malu kalau harus dipajang di muka civitas academika pagi hari, untuk berbicara selama 10 menit.

Tapi... tentu saja banyak hal positif yang bisa diambil dari kegiatan ini. Siswa jadi lebih percaya diri dan punya persiapan lebih untuk "manggung" di muka umum. Para guru juga jadi tertantang untuk lebih banyak membaca. Eh, tapi memang tidak semua guru, sebagian kecil saja rupanya :p

Buat saya pribadi, dengan mendengarkan cerita siswa atas buku2 yang dibacanya, saya jadi punya pembanding. Selama ini daftar bacaan saya sekitar 15 judul per bulan. Datanya saya simpan di Goodreads. Boleh lah bersaing dengan para kutu buku junior di sekolah kami. Tapi kadang saya suka malu sendiri: kenapa bacaan saya di luar buku teks pelajaran kok kebanyakan novel ya, hehehe....

Sekali2 mau baca buku tentang fungsi otak ah... :)

Friday, June 5, 2009

Membuat Program Organisasi Internasional

Kalau lihat foto di samping, mungkin Anda bertanya-tanya, apa yang ditunjuk oleh para siswa ini?

Yah, kalau boleh nampang sedikit, mereka nampang secara ilmiah. Mereka memperhatikan
dan saling nenunjuk poster2 kampanye lembaga internasional. Ada poster ASEAN, ILO, IDB, UNESCO, UNDP, WHO, Uni Eropa, dan lain-lain.

Semua itu poster buatan mereka sendiri, karena ini masih materi IPS terpadu untuk kelas IX.

Standar Kompetensi: Memahami perubahan pemerintahan dan kerjasama internasional.
Kompetensi dasarnya adalah mendesripsikan kerjasama antarnegara di bidang ekonomi.

Tujuan pembelajaran kali ini secara kognitif adalah siswa mampu membedakan kerjasama-kerjasama internasional di bidang ekonomi dan menjelaskan tujuan kerjasama internasional di bidang ekonomi. Secara afektif, diharapkan siswa mampu menerima perbedaan dan bekerja sama dengan bangsa lain serta memanfaatkan peluang untuk menjalani kerjasama ekonomi internasional.

Nah... nah... kalau setiap siswa diminta menghafal latar belakang, bidang usaha serta negara2 anggota organisasi internasional tersebut, tidak akan efektif. Keterlibatan mereka kurang terhadap organisasi2 tersebut. Maklum, anak pinggiran Bogor :) Maka dalam pembelajaran saya buat mereka dalam kelompok yang terdiri dari dua orang yang harus menguasai luar dalam masing2 organisasi. Tiap kelompok harus membuat kampanye sebuah program organisasi mereka dalam bentuk poster; dipresentasikan di hadapan "warga Indonesia" (teman2 sekelas mereka) dan meminta dukungan teman2 kelas lain pada poster2 yang ditempel di muka kelas. Ya seperti foto di atas itulah...

Lucu2 sebenarnya. Bikin senyum. Karena itulah harapan siswa Indonesia pada lembaga2 internasional yang selama ini kesannya tinggiii... sekali di langit. Tak terjangkau.


Sunday, May 3, 2009

Kamu Berani Memekarkan Daerah?

Kali ini, soal mengenai materi Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas IX.

SK:  Memahami pelaksanaan otonomi daerah
KD:  Mendeskripsikan pengertian otonomi daerah 

Menjelaskan pentingnya partisipasi  masyarakat dalam perumusan kebijakan publik di daerah.


Saya ambil sebuah artikel, lalu saya minta anak2 mengemukakan pendapat mereka, sebagai penilaian ulangan harian.



Jajak Pendapat: Publik Bogor, Bekasi, Karawang, dan Depok 
Setuju Pembentukan Provinsi Baru

Sebagian besar responden (80,1%) di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Karawang setuju terbentuknya provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat. Data itu diperoleh dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Publik Daerah (LP3D) pada 14 Januari sampai 24 Februari 2005. Ada 1.000 responden yang dipilih secara acak yang dimintai menjawab 10 pertanyaan. 
Sepuluh pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, efektivitas kordinasi pemerintahan, potensi pertambangan dalam peningkatan APBD, fungsi pembentukan provinsi baru, ke-6 daerah sebagai kawasan industri terbesar, Pusat Pengembangan SDM, kelayakan infrastruktur, potensi peningkatan retribusi dan PAD, potensi jumlah penduduk dan percepatan pembentukan povinsi baru.
Menurut Direktur LP3D, Hedi, 534 (80,1%) responden yang setuju, terdiri dari 64,4 % laki-laki dan 35,6% perempuan. Dari segi usia sebanyak 42,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 40,8 persen berusia 30 sampai dengan 45 tahun, dan 16,9 persen berusia lebih dari 45 tahun. Dari segi pendidikan sebanyak 47,6 persen berpendidikan SMA, 34,5 persen lulusan S1, 9,7 persen lulusan S2, 1,2 persen lulusan doktor dan lain-lain sebanyak 7,1 persen.
Dari poling, ada 16,7 persen responden yang ragu-ragu dan 3,2 persen yang tidak setuju terhadap pembentukan provinsi baru. Menurut Hedi, pembentukan provinsi baru ini dinilai sangat dan sesuai dengan payung berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mensyaratkan pembentukan provinsi berdasarkan syarat administrasi, teknis, dan fisik kedaerahan.
Berdasarkan kajian LP3D, Hedi menyebutkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain yang menunjang otonomi daerah bagi enam daerah ini sudah layak dan sangat menunjang.
Dicontohkan Hedi, soal kemampan ekonomi, PAD, dan APBD di enam daerah ini sangat menggembirakan. “Anggaran untuk pembangunan belanja langsung sudah di atas Rp 140 miliar, Pendapatan Domestik Regional Bruto ke-enam wilayah mencapai puluhan triliun dan pendapatan per kapita di atas nasional.” Sementara potensi daerah yang dimiliki juga sangat luar biasa seperti pertambangan dari mulai golongan C sampai A, pengembangan industri sektor jasa dan perdagangan potensi agrobisnis dan agroindustri, perhubungan, potensi pertanian, dan perikanan masih memilki potensi yang luar biasa.
(Tempo Interaktif, Maret 2005)

Berdasarkan artikel di atas, kerjakan soal-soal berikut ini!
1.Tuliskan kembali sepuluh aspek yang ditanyakan pada responden sebagai bagian usulan pemisahan dari Provinsi Jawa Barat!

2.Dengan gambaran di atas, apakah kabupaten dan kota di atas yang ingin memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat sudah siap dan memenuhi persyaratan untuk menjadi sebuah provinsi baru? Kaitkan jawabanmu dengan menunjukkan syarat-syarat pemekaran provinsi!

3.Seandainya kamu adalah anggota DPRD Jawa Barat, setujukah kalian dengan keinginan daerah-daerah tersebut untuk memisahkan diri dan membentuk provinsi baru? Jelaskan alasanmu!

4.Apakah menurutmu keinginan kabupaten dan kota yang ingin membentuk provinsi baru tersebut dapat memicu disintegrasi bangsa? Jelaskan alasanmu!

5.Sebutkan enam bidang yang tetap diurus oleh pemerintah pusat meskipun otonomi daerah sudah dilaksanakan!


Saturday, May 2, 2009

Perpustakaan dan Pemberdayaan Umat

... Dalam filsafat, atau agama, atau etika, atau politika, 
dua tambah dua mungkin sama dengan lima, 
tetapi ketika orang merancang senjata atau pesawat terbang, dua tambah dua harus empat. 

George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1949)

Di SMART Ekselensia Indonesia, tempat saya mengajar sejak dua tahun lalu, saat ini ada 174 siswa yang haus meneguk pengetahuan dari cawan milik sekolah. Cawan itu tak hanya ada di ruang kelas lewat susunan kurikulum masing-masing guru, tapi juga di ruang perpustakaan yang koleksinya lebih dari 5000 judul buku, dari segala subyek. Ada buku-buku teks pelajaran, juga ada buku biografi, sejarah, ilmu pengetahuan populer, keterampilan, kesehatan, olahraga, musik, psikologi, hingga sastra dan komik. Sungguh tempat yang sangat potensial jika kita berharap bisa memberdayakan umat agar mandiri untuk masa depannya.


Tengoklah isi rak-rak buku di ruang perpustakaan ini. Secara acak, ambil satu buku dari sembarang rak, dan kita bisa tentukan seberapa dicintainya buku ini oleh pembaca. Buku-buku di rak yang sebagian besar masih mulus, rapi, jarang berpindah, dan begitu sedikit kartu peminjam di bagian belakangnya tergores sebuah nama, merupakan tanda buku ini kurang dicintai pembaca yang sayang untuk menyentuh dan membawanya. Dan sebaliknya, ada buku-buku yang sampulnya lusuh walau terbungkus plastik, ujung-ujung halamannya keriting, atas dan bawah. Puluhan nama siswa bergiliran tertera sebagai peminjam di kartu peminjamannya. Inilah buku yang disukai pembaca, menawarkan keasyikan menikmatinya.

Nama-nama siswa di kartu peminjaman ribuan buku itu menjadi tanda betapa banyak siswa SMART EI yang begitu mencintai buku. Ada puluhan siswa yang selama satu bulan bisa meminjam belasan buku. Memang sebagian ”buku-buku laris” itu adalah buku fiksi atau buku populer. Namun itu sudah menjadi hal yang patut juga disyukuri karena berarti para siswa bersedia meluaskan wawasan dengan membaca.

Hal sebaliknya terjadi saat mencari nama-nama guru yang tercatat reguler sebagai pembaca buku perpustakaan. Sangat sulit menemukan sepuluh nama guru, misalnya, yang dengan teratur memiliki catatan peminjaman buku lebih dari lima judul per bulan. Jikalau ada, ternyata buku-buku yang dipinjam lebih sering adalah buku yang termasuk ”teacher's resources”, atau yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya.

Kebiasaan membaca rupanya masih belum berakar di kalangan guru yang berkarya di Bumi Pengembangan Insani. Bila dibandingkan dengan semangat membaca yang dimiliki para siswa maka kesenjangannya benar-benar terlihat. Ambil contoh, buku inspirasional karangan Andrea Hirata yang paling laris penjualannya di Indonesia dalam empat tahun terakhir, Laskar Pelangi. Empat eksemplar buku ini dimiliki oleh perpustakaan SMART EI, masih laris diantri oleh siswa. Namun guru-guru mereka yang telah menuntaskan membaca novel setebal 530 halaman itu, mungkin tak lebih dari sepertiga jumlahnya. 

Jangan lagi bertanya, berapa guru yang tahu atau pernah membaca Sophie's World, sebuah karya filsafat yang mendunia dari Jostein Gaarder atau karya klasik Harper Lee yang lebih dari lima puluh tahun masih dibaca anak-anak sekolah di Amerika Serikat, To Kill a Mockingbird. Dua buku ini edisi bahasa Indonesianya sudah terbit dan menjadi koleksi perpustakaan SMART EI. Atau silakan beri pilihan jawaban bebas kepada para guru ini, tanyakan berapa jumlah buku yang dimiliki dan dibacanya dalam satu tahun terakhir. Tidak hanya buku-buku yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya, melainkan juga buku-buku umum dan populer. Silakan juga tidak percaya, namun akan ada saja guru yang sudah sekian lama tidak lagi membaca buku-buku yang terkait dengan mata pelajaran yang diampunya, sehingga bahan ajar yang diberikan kepada para siswa hanya berupa ilmu peninggalan masa lampau. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pun dibuat hanya dengan mengganti tahun pelaksanaan.

Jika guru bersangkutan juga tidak memperkaya pengetahuannya dengan buku-buku pengembangan kurikulum, berarti ilmu yang diajarkannya sudah tidak selaras lagi dengan tuntutan perkembangan saat ini. Silakan bayangkan sendiri, seperti apa produk pendidikan yang dihasilkan oleh guru yang kurang membaca semacam ini. Wajar, ”guru yang tidak suka membaca” menjadi salah satu catatan pemuda Izza sebagai hal yang tidak mengembangkan pendidikan di sekolahnya.

Izza, lengkapnya Muhammad Izza Ahsin Sidqi, remaja yang telah menulis buku Dunia Tanpa Sekolah (2007). Saya belum pernah membaca buku itu, jadi tak bisa berkomentar mengenai isinya. Namun saya tertarik pada sedikit biografi Izza yang saya baca dari sebuah web-blog. Penulis muda kelahiran tahun 1991 ini memilih untuk tidak lulus dari sebuah SMP favorit di sebuah kota di Jawa Tengah. Sejak tahun 2006 ia dibebaskan oleh orangtuanya melepaskan diri dari sekolah formal. Alasan Izza, sekolah lamanya itu “lambat memintarkan”, guru-gurunya “konservatif, pemarah, dan tidak suka membaca”, juga menerapkan “berbagai aturan sekolah yang membelenggu kemauan belajar”. Izza yang konon berkemauan keras menjadi penulis profesional, merasa lebih baik berguru pada ratusan jilid buku yang sudah dibacanya sejak kecil. Ilmu bisa datang tanpa sekolah, demikian prinsip Izza.

Secara pribadi saya tidak melihat ada kesalahan pada pemikiran Izza. Saya malah kagum, remaja ini sudah membaca begitu banyak, lebih dari 600 buku populer maupun klasik. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer hingga tujuh seri Harry Potter. Sangat hebat tentunya, karena dia bisa mengambil ilmu dari apa-apa yang dibacanya. Hebatnya malah sampai dua perkara. Pertama, seorang remaja bisa memiliki hobi membaca yang mengalahkan hobi menonton televisi dan permainan komputer seperti jamaknya remaja zaman sekarang. Kedua, sungguh membaca itu bukan pekerjaan mudah, buktinya banyak orang membaca, orang dewasa sekalipun, tapi tak menghasilkan apa-apa.

Saya bisa melihat Izza bagai seorang yang tak putus belajar dari buku-buku yang berbicara ramah padanya, dari guru-guru tak tampak yang tak pernah memarahinya. Semua buku dan guru itu bermurah hati memberi semua yang mereka punya, meninggalkan jejak ilmu yang berebut-rebut tempat di kepala pembacanya. Alhasil, pembaca yang tak kuat pasti semaput.

Hal ini dalam pikiran saya paling mungkin telah terjadi pada seorang Izza. Dia merasa telah menguasai jejak-jejak ilmu yang datang padanya. Ia kemudian bertindak sesuai titah guru idolanya itu. Bebaskan dirimu, raih cita-citamu, lepaskan sekolahmu. Sebagai seorang guru di institusi sekolah formal, saya tertegun membaca jalan hidup Izza. Betapa perasaan saya akan tertusuk bila ada siswa yang saya ajar memutuskan keluar karena tidak menikmati belajar di tempat saya menikmati mengajar. Betapa hati saya akan terluka jika seorang siswa tidak bersedia menyerap ilmu yang saya tawarkan. Lebih jauh lagi, batin saya terguncang manakala siswa tersebut mencerca seluruh institusi pendidikan formal sebagai penjaranya, lahir batin.

Banyak hal yang bisa jadi penyebab siswa berpotensi seperti Izza memutuskan pamit dari sekolah. Namun entah kenapa, saya malah terkenang potongan kalimat dari novel karya terakhir George Orwell, Nineteen Eighty-Four di atas. Kalimat yang lagi-lagi membuat saya berkhayal: bayangkan guru yang tidak membaca dikelilingi oleh siswa-siswa ”gila baca”. Sang guru tak akan bisa menjelaskan, mengapa ada cabang ilmu yang mengajarkan bahwa ”dua tambah dua tidak sama dengan empat”. 

Jika guru banyak membaca berbagai hal niscaya ia bisa jadi penerang bagi kegalauan siswanya. Saya percaya bahwa untuk tingkatan sekolah menengah, siswa masih sangat perlu dibimbing menuju masa depan. Sebutlah ketika dalam Pendidikan Agama Islam telah diajarkan bahwa seorang muslim tidak dibenarkan menikah dengan non-muslim. Padahal dalam cerita buku yang dibaca siswa, pernikahan pasangan beda keyakinan itu dijalankan oleh tokoh “jagoan” dan digambarkan tanpa tentangan berarti. Siswa bisa saja mengambil hal yang dianggapnya lebih menyenangkan baginya sebagai pedoman, jika guru tidak tanggap dan menjelaskan lebih jauh perkara tersebut dengan pendekatan yang bisa diterima siswa.

Seorang guru geografi misalnya, saat mengajarkan perairan dan terusan di dunia, sering luput menjelaskan bagaimana Terusan Suez yang diperebutkan Inggris dan Perancis kemudian dinasionalisasi oleh pemimpin Mesir Gamal Abdul Nasser. Guru bahasa Inggris yang hafal aneka irregular verbs jarang yang mengerti riwayat kamus bahasa Inggris pertama yang otoritatif, Oxford English Dictionary, belum tentu akan terwujud tanpa bantuan William C. Minor, akademisi yang menghuni Rumah Sakit Jiwa Broadmoor. Guru-guru seperti ini akan kelabakan jika ada siswa menyimpang sedikit saja dari rancangan kurikulum yang telah disusunnya itu.

Kita tentunya tidak mengharapkan seorang siswa yang potensial macam Izza menyusul memalingkan muka pada pendidikan formal. Sudah waktunya semua bacaan luar biasa di perpustakaan SMART EI dibaca bersama oleh guru dan siswa, hingga menciptakan situasi pemberdayaan bagi masa depan civitas academica SMART EI.

Ditulis untuk Lomba Esai LPI menyambut Hari Pendidikan Nasional 2009

Saturday, March 28, 2009

Bekal Pulang Kampung

Ada siswa SMART EI yang bulan Januari lalu pulang kampung untuk berlibur tahunan dengan hadiah istimewa tidak hanya untuk keluarganya, tapi juga untuk gurunya di SD.

Ipul mudik ke Banggai, Bisabrii pulang ke Sorong. Rully diantar ke Bojonggede, dan Iyas akan dijemput ibunya kembali ke Bekasi.

Iyas, lulusan SDIT Baiturrahman Jatimulya, Bekasi Timur tahun 2007. Insya Allah pulang kampung keduanya selama menjadi siswa SMART EI akan membawa hadiah berkesan bagi gurunya di SDIT Baiturrahman. Hadiah ini terwujud setelah Iyas menjadi satu dari 25 pemenang lomba penulisan tentang guru yang diadakan oleh GagasMedia pada Oktober lalu. Sebenarnya bukan hanya Iyas siswa SMART EI yang mengirimkan karyanya, namun belum semuanya beruntung kali ini. Selain mendapatkan uang tunai dan paket buku, kumpulan karya para pemenang ini akan dibukukan juga lho!

Benar-benar bekal yang berkesan untuk dibawa pulang kampung, kan? Oiya, inilah karya Iyas yang menang lomba tersebut:




PEGAL PINGGANGKU... DEMI DIRIMU!


Maret, 2007
Sekitar tiga bulan lagi aku dan teman-temanku angkatan kedua SDIT Baiturrahman di Bekasi Timur, Jawa Barat, akan menjadi kupu-kupu yang bebas terbang melakukan hal-hal layaknya remaja usia SMP. Kami akan terbebas dari mumetnya pelajaran-pelajaran yang menghantui dari pukul tujuh pagi hingga tiga petang. Kami membayangkan lepas dari lelahnya berdiri di depan kelas sebelum mulai jam pelajaran pada hari Senin. Melupakan bagaimana rasanya air ludah sendiri mengumpul di mulut ketika tadarus Al Quran. Terlebih lagi ketika Pak Irwan, guru Al Quran kami menagih setoran hafalan surat, hadits, doa sehari-hari... pokoknya semua hafalan yang ada bahasa Arabnya lah! Memang Pak Irwan bukan termasuk guru favorit kami, siswa angkatan kedua yang kini telah duduk di kelas tertinggi, kelas 6.

Ya, aku Iyas Abdurrohman, siswa SDIT Baiturrahman kelas 6, yang termasuk dalam kelompok masyarakat “kurang mampu”. Tiga bulan lagi aku akan terbebas dari belenggu derita cap sebagai siswa SD, penyandang seragam putih-merah yang sudah kumal. Hari-hari penuh bahagia dengan jamuan seragam baru putih-biru segera menjelang. Ibuku telah menyatakan harapannya agar aku melanjutkan ke sekolah berasrama atau sebuah pesantren, amanah dari almarhum ayahku. Aku tentu menyetujui ide ini, walau sebelumnya perlu waktu tiga hari tiga malam bagiku untuk memutuskannya.

Satu bulan yang lalu, ibuku memberitahu bahwa salah seorang guru SD-ku mendaftarkanku mengikuti seleksi penerimaan siswa baru SMART Ekselensia Indonesia, sekolah menengah bebas biaya di Parung, Kabupaten Bogor. Tiga hari lalu, kembali ibuku memberitahu adanya panggilan telepon dari pihak SMART EI, mengabarkan lolosnya aku mengikuti seleksi tahap satu. Seleksi tahap kedua siap menghadangku, yaitu tes akademik bidang matematika dan mengarang dalam bahasa Indonesia. Semangatku membara, hatiku menangis, aku memancangkan niat sekuat-kuatnya untuk berhasil masuk ke SMART EI.

Dua minggu ini aku giat belajar, berusaha keras menyingkirkan memori-memori tak berguna dari otakku dan menjejalkan rumus-rumus matematika serta kata-kata nan cantik persiapan mengarang dalam bahasa Indonesia. Tak terasa nanti malam aku akan berangkat ke Parung untuk esok hari menghadapi kertas-kertas soal yang mungkin menjadi penghalangku. Pagi ini aku meminta doa restu kepada teman-temanku karena menurutku orang yang harus dimintai doa restu pertama kali adalah orangtua dan kedua adalah teman-teman. Syukurlah, teman-teman mendukungku untuk membobol dinding berbentuk lembaran soal esok hari.

Sekarang sudah pukul 16.23 WIB, aku berada di warung untuk membeli bekal yang akan menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Tadi ibuku memberi uang dua puluh ribu rupiah, aku pun memilih makanan seperlunya saja. Setelah pulang dari warung aku menyempatkan diri bermain sepak bola di lapangan bersama teman-teman. Lima belas menit bermain sudah cukup bagiku, mandi akan membuatku lebih segar. Selama beberapa menit aku menghilangkan keringat, barulah aku mencuci badan, mandi. 

“Yas, sudah siap belum?” Ibu bertanya dari ruang tamu.
“Sebentar lagi, Bu,” jawabku.
“Yas, sekalian wudhu,” Ibu menambahkan.
“Iya, Bu. Ini lagi mau wudhu,” aku menjawab dari depan pintu kamar mandi.

Setelah sholat magrib aku dan ibuku bergegas bersiap ke Bogor, tempat di mana calon sekolah baruku terletak. Di benakku terbayang teka-teki: dengan apa dan dengan siapa kami akan berangkat. Ah, sudahlah, biarkan saja. Biarkan ini menjadi surprise, kejutan penyemangat. Aku melangkahkan kaki keluar rumah dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat seorang yang menurutku menjengkelkan, siapa lagi kalau bukan Pak Irwan, telah siap di atas sepeda motornya. Tanpa banyak protes, aku menyertai ibuku mengambil tempat di jok pembonceng.

“Siap, Yas?” Pak Irwan bertanya.
“In... insya Allah siap, Pak,” jawabku ragu.
Dimulai dengan melafalkan doa hendak bepergian dan doa naik kendaraan, sepada motor Pak Irwan melaju, pelan dan santai, tapi pasti.

Udara malam sangat sejuk, angin sepoi-sepoi. Sayangnya udara macam ini tak baik untuk kesehatan. Ibu telah menyuruhku mengenakan jaket sebelum berangkat tadi. Kulihat lampu-lampu kendaraan bersinar memancarkan efek dari masing-masing warna. Keramaian malam membuatku tak ingin melewatkan sedetikpun waktu perjalanan berharga ini. Walau sedikit aku sempat berbincang-bincang dengan Pak Irwan. Aku terus mengamati apa yang kulihat, hingga kira-kira sudah empat puluh menit aku berada di atas sepeda motor ini. Sepertinya aku akan meninggalkan keramaian malam... mmm... mataku mulai tertutup, kubuka lagi. Rasa kantuk makin merasuk dan akhirnya mataku pasrah terpejam, aku tertidur.

Aku berada di depan sebuah warung makan, di atasnya bertuliskan RUMAH MAKAN PADANG LEMBAH ANAI. Setelah tertidur satu setengah jam, energiku seperti telah kembali sepenuhnya. Ditambah lagi kami akan makan malam dulu di rumah makan ini, yang walaupun kecil tapi terlihat bersih. Kutebak, kira-kira kami sekarang berada di wilayah Jakarta pinggiran. Rasa lapar begitu besar, dan syukurlah ada dua meja kosong. Kami memilih tempat di depan pesawat TV. Sayangnya untuk menonton acara TV, kamu harus mendongakkan kepala. Itu pun baru akan nyaman kalau tinggimu lebih dari 150 cm, melebihi tinggi badanku.

Makanan pun telah dipesan. Aku, ibuku dan Pak Irwan memilih menu yang sama, nasi rendang. Untuk minumnya aku memilih teh dingin. Pak Irwan memesan air jeruk hangat, sama seperti pesanan ibuku. Sambil menunggu aku membuka buku matematika, berusaha mengerjakan soal-soal. Berhasil mengerjakan empat soal, makanan kami pun tiba. Kami memulai dengan doa sebelum makan, lalu semua membisu, makan dengan lahap.

Perjalanan kami lanjutkan. Aku yakin kali ini tak akan tertidur lagi. Setelah makan energiku membaik lagi. Yakin bahwa kami akan menikmati keindahan malam, aku pun siap untuk berangkat. Pak Irwan kembali memimpin doa bepergian disambung doa naik kendaraan, mengawali perjalanan yang santai tapi pasti. Dingin malam mencekam. Sempat kulihat beberapa pemuda berjalan di trotoar bersama para wanita yang entah apa hubungannya. Hari semakin larut, pinggangku mulai terasa pegal. Ibuku membisu, demikian juga Pak Irwan. Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Ingin sebenarnya aku mengubah posisi duduk, tapi... sudahlah. Bisa jadi hal yang kulakukan mengganggu konsentrasi Pak Irwan serta ibuku yang sudah mulai terkantuk.  Aku pun merasa sesuatu menarik kelopak mataku menutup bola mata. Sempat kutahan, tapi... ah sudahlah. Biarkan saja.

Nah, aduh...! Aku kini terbangun dengan pinggang terasa sakit. Rupanya tadi ada polisi tidur tajam melintang tak terlihat oleh Pak Irwan, dihantamnya saja. Nyenyak sekali rupanya aku tertidur. Kulihat Pak Irwan menyalakan lampu sen ke arah kiri. Sepertinya tujuan kami telah tampak dan perjalanan yang kami tempuh segera berakhir di sini. Oh belum. Besok aku baru akan menghadapi tes matematika dan mengarang. Pak Irwan mulai menepikan sepeda motornya dan membelok. Terlihat tulisan di atas bangunan itu, sinar biru dan merah memancar: LEMBAGA PENGEMBANGAN INSANI. Pak Irwan berbicara sebentar dengan seorang petugas keamanan, kemudian melanjutkan laju motornya pelan-pelan dan memarkirkan sepeda motor ini di samping tiang bendera.

“Ya, Yas. Kita sudah sampai, nih.” Pak Irwan menguatkanku.
“Mmm... iya Pak,” sahutku takut-takut.

Seorang petugas keamanan menghampiri kami, terlihat di atas saku kanannya tulisan namanya, Syaifuddin.

“Assalamu'alaikum Pak, Bu, “ bapak petugas itu menyapa.
“Wa alaikum salam,” jawab Pak Irwan.
“Mau ikut tes, ya?” tanya bapak petugas sambil mengangguk ke arahku.
“Iya nih, Pak. Kalau mau menginap di mana, ya?”
“Oh, mari. Saya antar.”

Kami dipandu oleh Pak Syaifuddin memasuki lorong-lorong. Meskipun masih asing bagiku,  malam-malam begini bangunan itu terasa menyapa: Hai! Kulirik jam dinding di atas sebuah cermin besar di salah satu bagian lorong. Hatiku terkaget-kaget, sudah pukul 11 malam! Kami rupanya berada di atas sepeda motor selama kira-kira lima jam. Pantas saja otot pinggangku terasa hampir lepas. Kakiku terasa seperti dikerubungi semut, kesemutan akut. Aku memang sempat tidur, tapi tetap saja terasa remuk badan ini. Bagaimana pula dengan Pak Irwan, lima jam dengan posisi tangan terentang ke depan. Pasti kaku.

Di depanku kini ada sebuah pintu, tertulis “Kamar Menginap untuk Akhwat”. Akhwat itu artinya saudara perempuan. Hm, lalu di mana kamar menginap untukku yang ikhwan ini? Aku berpaling untuk bertanya pada ibu, namun belum sempat bertanya ibuku mengatakan aku diperbolehkan menginap di kamar akhwat karena saat itu hanya ada dua orang perempuan lain. Apalagi kamar ikhwan saat itu sudah terkunci. Aku pun masuk ke dalam kamar, di mana kedua tamu perempuan lain sudah tertidur. Ibu menyuruhku berwudhu dan bergegas sholat Isya.

Wudhuku, sejujurnya kurang khusyuk, karena aku memikirkan Pak Irwan. Betapa besarnya pengorbanan beliau. Aku mengulang wudhuku, menyelesaikannya dengan doa dan kembali ke kamar. Kudapati ibuku telah siap, dengan mukena putihnya ia memimpin sholat.
Ibu khusyuk berdoa kepada Alloh, duduk membisu. Aku pun begitu, berusaha memfokuskan pikiran, mengadu kepada yang Maha Mendengar. Selama beberapa menit kubiarkan mulut ini berbisik mengadu pada-Nya. Tentang Pak Irwan yang telah banyak berkorban. Ibuku yang selalu mendukungku. Tes esok hari. SMART EI calon sekolahku. SDIT Baiturrahman. Dan banyak lagi. Menyudahi doaku, aku menyalami ibuku, mencium punggung tangannya yang lembut.

Tubuhku bergeser, membuka lembaran buku yang kubawa dari Bekasi, saat tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.

“Assalamu'alaikum,” panggil seseorang dari balik pintu.
“Wa'alaikumussalam,” jawabku.
Kubukakan pintu, dan tampaklah sosok yang kini sudah tak asing lagi, Pak Irwan. Beliau menyatakan niatnya untuk berpamitan kembali ke Bekasi. Padahal belum lagi 60 menit kami tiba di sini, ia sudah siap hendak kembali berkendara pulang. Benar-benar takkan kulupakan jasanya. Ibu menawarinya minum, tapi katanya ia sudah meneguk kopi. Ditawari pula membawa bekal makanan tapi katanya sudah ada. Ah, aku tersentuh. Betapa baiknya guruku ini.

Kami menyertainya ke lapangan parkir. Sekarang sekitar pukul 11.45 malam. Beliau telah  menyalakan mesin sepeda motornya, lalu perlahan berangkat menerobos keheningan malam. Kupandangi sambil termenung, mengingat perjalananku diboncengnya sambil tidur berjam-jam namun tak terhindarkan pegalnya. Demikian juga yang dirasakan ibuku. Terpikir olehku bagaimana pula perasaan Pak Irwan ini. Tangan, pinggang, kaki, semua pasti terasa remuk dipaksa 5 jam bekerja tanpa henti. Padahal beliau belum sepenuhnya melemaskan anggota-anggota tubuhnya itu. Aku tahu mengapa ia memaksakan pulang malam ini juga, karena besok pagi-pagi ia harus mengajar mengaji di TPA Baiturrahman. Benar-benar guru yang berdedikasi. Bersama ibu, aku kembali ke kamar. Sudah ingin sekali aku merebahkan diri di atas kasur. Rasanya ada tarikan dari arah bantal di sudut itu. Dengan mengucap doa sebelum tidur,  bismillah, aku pun terlelap.

Suara adzan terdengar begitu dekat. Asholaatu khoirumminannaum.... Adzan subuh rupanya telah berkumandang. Pak Syaifuddin mengetuk pintu, membangunkan kami. Ibu telah siap, dan aku pun segera ke kamar mandi, membuang air dan berwudhu. Ibu kembali menjadi imam sholat subuh kami.

Usai sholat, aku melangkah keluar. Ingin kutengok indahnya pagi di bumi Bogor ini. Semoga soal-soal yang nanti kuhadapi dapat kulalui dengan mudah. Aku berharap demi dua orang yang semalaman mengarungi malam bersamaku: ibuku yang selalu ada di setiap langkahku, dan Pak Irwan, guru luar biasa yang rela menempuh perjalanan 10 jam di atas sepeda motornya. Pengorbanan beliau takkan pernah terhapus dari memoriku. Terimakasih Pak Irwan.

Bogor, September 2008
Iyas Abdurrohman