Ipul mudik ke Banggai, Bisabrii pulang ke Sorong. Rully diantar ke Bojonggede, dan Iyas akan dijemput ibunya kembali ke Bekasi.
Iyas, lulusan SDIT Baiturrahman Jatimulya, Bekasi Timur tahun 2007. Insya Allah pulang kampung keduanya selama menjadi siswa SMART EI akan membawa hadiah berkesan bagi gurunya di SDIT Baiturrahman. Hadiah ini terwujud setelah Iyas menjadi satu dari 25 pemenang lomba penulisan tentang guru yang diadakan oleh GagasMedia pada Oktober lalu. Sebenarnya bukan hanya Iyas siswa SMART EI yang mengirimkan karyanya, namun belum semuanya beruntung kali ini. Selain mendapatkan uang tunai dan paket buku, kumpulan karya para pemenang ini akan dibukukan juga lho!
Benar-benar bekal yang berkesan untuk dibawa pulang kampung, kan? Oiya, inilah karya Iyas yang menang lomba tersebut:
PEGAL PINGGANGKU... DEMI DIRIMU!
Maret, 2007
Sekitar tiga bulan lagi aku dan teman-temanku angkatan kedua SDIT Baiturrahman di Bekasi Timur, Jawa Barat, akan menjadi kupu-kupu yang bebas terbang melakukan hal-hal layaknya remaja usia SMP. Kami akan terbebas dari mumetnya pelajaran-pelajaran yang menghantui dari pukul tujuh pagi hingga tiga petang. Kami membayangkan lepas dari lelahnya berdiri di depan kelas sebelum mulai jam pelajaran pada hari Senin. Melupakan bagaimana rasanya air ludah sendiri mengumpul di mulut ketika tadarus Al Quran. Terlebih lagi ketika Pak Irwan, guru Al Quran kami menagih setoran hafalan surat, hadits, doa sehari-hari... pokoknya semua hafalan yang ada bahasa Arabnya lah! Memang Pak Irwan bukan termasuk guru favorit kami, siswa angkatan kedua yang kini telah duduk di kelas tertinggi, kelas 6.
Ya, aku Iyas Abdurrohman, siswa SDIT Baiturrahman kelas 6, yang termasuk dalam kelompok masyarakat “kurang mampu”. Tiga bulan lagi aku akan terbebas dari belenggu derita cap sebagai siswa SD, penyandang seragam putih-merah yang sudah kumal. Hari-hari penuh bahagia dengan jamuan seragam baru putih-biru segera menjelang. Ibuku telah menyatakan harapannya agar aku melanjutkan ke sekolah berasrama atau sebuah pesantren, amanah dari almarhum ayahku. Aku tentu menyetujui ide ini, walau sebelumnya perlu waktu tiga hari tiga malam bagiku untuk memutuskannya.
Satu bulan yang lalu, ibuku memberitahu bahwa salah seorang guru SD-ku mendaftarkanku mengikuti seleksi penerimaan siswa baru SMART Ekselensia Indonesia, sekolah menengah bebas biaya di Parung, Kabupaten Bogor. Tiga hari lalu, kembali ibuku memberitahu adanya panggilan telepon dari pihak SMART EI, mengabarkan lolosnya aku mengikuti seleksi tahap satu. Seleksi tahap kedua siap menghadangku, yaitu tes akademik bidang matematika dan mengarang dalam bahasa Indonesia. Semangatku membara, hatiku menangis, aku memancangkan niat sekuat-kuatnya untuk berhasil masuk ke SMART EI.
Dua minggu ini aku giat belajar, berusaha keras menyingkirkan memori-memori tak berguna dari otakku dan menjejalkan rumus-rumus matematika serta kata-kata nan cantik persiapan mengarang dalam bahasa Indonesia. Tak terasa nanti malam aku akan berangkat ke Parung untuk esok hari menghadapi kertas-kertas soal yang mungkin menjadi penghalangku. Pagi ini aku meminta doa restu kepada teman-temanku karena menurutku orang yang harus dimintai doa restu pertama kali adalah orangtua dan kedua adalah teman-teman. Syukurlah, teman-teman mendukungku untuk membobol dinding berbentuk lembaran soal esok hari.
Sekarang sudah pukul 16.23 WIB, aku berada di warung untuk membeli bekal yang akan menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Tadi ibuku memberi uang dua puluh ribu rupiah, aku pun memilih makanan seperlunya saja. Setelah pulang dari warung aku menyempatkan diri bermain sepak bola di lapangan bersama teman-teman. Lima belas menit bermain sudah cukup bagiku, mandi akan membuatku lebih segar. Selama beberapa menit aku menghilangkan keringat, barulah aku mencuci badan, mandi.
“Yas, sudah siap belum?” Ibu bertanya dari ruang tamu.
“Sebentar lagi, Bu,” jawabku.
“Yas, sekalian wudhu,” Ibu menambahkan.
“Iya, Bu. Ini lagi mau wudhu,” aku menjawab dari depan pintu kamar mandi.
Setelah sholat magrib aku dan ibuku bergegas bersiap ke Bogor, tempat di mana calon sekolah baruku terletak. Di benakku terbayang teka-teki: dengan apa dan dengan siapa kami akan berangkat. Ah, sudahlah, biarkan saja. Biarkan ini menjadi surprise, kejutan penyemangat. Aku melangkahkan kaki keluar rumah dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat seorang yang menurutku menjengkelkan, siapa lagi kalau bukan Pak Irwan, telah siap di atas sepeda motornya. Tanpa banyak protes, aku menyertai ibuku mengambil tempat di jok pembonceng.
“Siap, Yas?” Pak Irwan bertanya.
“In... insya Allah siap, Pak,” jawabku ragu.
Dimulai dengan melafalkan doa hendak bepergian dan doa naik kendaraan, sepada motor Pak Irwan melaju, pelan dan santai, tapi pasti.
Udara malam sangat sejuk, angin sepoi-sepoi. Sayangnya udara macam ini tak baik untuk kesehatan. Ibu telah menyuruhku mengenakan jaket sebelum berangkat tadi. Kulihat lampu-lampu kendaraan bersinar memancarkan efek dari masing-masing warna. Keramaian malam membuatku tak ingin melewatkan sedetikpun waktu perjalanan berharga ini. Walau sedikit aku sempat berbincang-bincang dengan Pak Irwan. Aku terus mengamati apa yang kulihat, hingga kira-kira sudah empat puluh menit aku berada di atas sepeda motor ini. Sepertinya aku akan meninggalkan keramaian malam... mmm... mataku mulai tertutup, kubuka lagi. Rasa kantuk makin merasuk dan akhirnya mataku pasrah terpejam, aku tertidur.
Aku berada di depan sebuah warung makan, di atasnya bertuliskan RUMAH MAKAN PADANG LEMBAH ANAI. Setelah tertidur satu setengah jam, energiku seperti telah kembali sepenuhnya. Ditambah lagi kami akan makan malam dulu di rumah makan ini, yang walaupun kecil tapi terlihat bersih. Kutebak, kira-kira kami sekarang berada di wilayah Jakarta pinggiran. Rasa lapar begitu besar, dan syukurlah ada dua meja kosong. Kami memilih tempat di depan pesawat TV. Sayangnya untuk menonton acara TV, kamu harus mendongakkan kepala. Itu pun baru akan nyaman kalau tinggimu lebih dari 150 cm, melebihi tinggi badanku.
Makanan pun telah dipesan. Aku, ibuku dan Pak Irwan memilih menu yang sama, nasi rendang. Untuk minumnya aku memilih teh dingin. Pak Irwan memesan air jeruk hangat, sama seperti pesanan ibuku. Sambil menunggu aku membuka buku matematika, berusaha mengerjakan soal-soal. Berhasil mengerjakan empat soal, makanan kami pun tiba. Kami memulai dengan doa sebelum makan, lalu semua membisu, makan dengan lahap.
Perjalanan kami lanjutkan. Aku yakin kali ini tak akan tertidur lagi. Setelah makan energiku membaik lagi. Yakin bahwa kami akan menikmati keindahan malam, aku pun siap untuk berangkat. Pak Irwan kembali memimpin doa bepergian disambung doa naik kendaraan, mengawali perjalanan yang santai tapi pasti. Dingin malam mencekam. Sempat kulihat beberapa pemuda berjalan di trotoar bersama para wanita yang entah apa hubungannya. Hari semakin larut, pinggangku mulai terasa pegal. Ibuku membisu, demikian juga Pak Irwan. Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Ingin sebenarnya aku mengubah posisi duduk, tapi... sudahlah. Bisa jadi hal yang kulakukan mengganggu konsentrasi Pak Irwan serta ibuku yang sudah mulai terkantuk. Aku pun merasa sesuatu menarik kelopak mataku menutup bola mata. Sempat kutahan, tapi... ah sudahlah. Biarkan saja.
Nah, aduh...! Aku kini terbangun dengan pinggang terasa sakit. Rupanya tadi ada polisi tidur tajam melintang tak terlihat oleh Pak Irwan, dihantamnya saja. Nyenyak sekali rupanya aku tertidur. Kulihat Pak Irwan menyalakan lampu sen ke arah kiri. Sepertinya tujuan kami telah tampak dan perjalanan yang kami tempuh segera berakhir di sini. Oh belum. Besok aku baru akan menghadapi tes matematika dan mengarang. Pak Irwan mulai menepikan sepeda motornya dan membelok. Terlihat tulisan di atas bangunan itu, sinar biru dan merah memancar: LEMBAGA PENGEMBANGAN INSANI. Pak Irwan berbicara sebentar dengan seorang petugas keamanan, kemudian melanjutkan laju motornya pelan-pelan dan memarkirkan sepeda motor ini di samping tiang bendera.
“Ya, Yas. Kita sudah sampai, nih.” Pak Irwan menguatkanku.
“Mmm... iya Pak,” sahutku takut-takut.
Seorang petugas keamanan menghampiri kami, terlihat di atas saku kanannya tulisan namanya, Syaifuddin.
“Assalamu'alaikum Pak, Bu, “ bapak petugas itu menyapa.
“Wa alaikum salam,” jawab Pak Irwan.
“Mau ikut tes, ya?” tanya bapak petugas sambil mengangguk ke arahku.
“Iya nih, Pak. Kalau mau menginap di mana, ya?”
“Oh, mari. Saya antar.”
Kami dipandu oleh Pak Syaifuddin memasuki lorong-lorong. Meskipun masih asing bagiku, malam-malam begini bangunan itu terasa menyapa: Hai! Kulirik jam dinding di atas sebuah cermin besar di salah satu bagian lorong. Hatiku terkaget-kaget, sudah pukul 11 malam! Kami rupanya berada di atas sepeda motor selama kira-kira lima jam. Pantas saja otot pinggangku terasa hampir lepas. Kakiku terasa seperti dikerubungi semut, kesemutan akut. Aku memang sempat tidur, tapi tetap saja terasa remuk badan ini. Bagaimana pula dengan Pak Irwan, lima jam dengan posisi tangan terentang ke depan. Pasti kaku.
Di depanku kini ada sebuah pintu, tertulis “Kamar Menginap untuk Akhwat”. Akhwat itu artinya saudara perempuan. Hm, lalu di mana kamar menginap untukku yang ikhwan ini? Aku berpaling untuk bertanya pada ibu, namun belum sempat bertanya ibuku mengatakan aku diperbolehkan menginap di kamar akhwat karena saat itu hanya ada dua orang perempuan lain. Apalagi kamar ikhwan saat itu sudah terkunci. Aku pun masuk ke dalam kamar, di mana kedua tamu perempuan lain sudah tertidur. Ibu menyuruhku berwudhu dan bergegas sholat Isya.
Wudhuku, sejujurnya kurang khusyuk, karena aku memikirkan Pak Irwan. Betapa besarnya pengorbanan beliau. Aku mengulang wudhuku, menyelesaikannya dengan doa dan kembali ke kamar. Kudapati ibuku telah siap, dengan mukena putihnya ia memimpin sholat.
Ibu khusyuk berdoa kepada Alloh, duduk membisu. Aku pun begitu, berusaha memfokuskan pikiran, mengadu kepada yang Maha Mendengar. Selama beberapa menit kubiarkan mulut ini berbisik mengadu pada-Nya. Tentang Pak Irwan yang telah banyak berkorban. Ibuku yang selalu mendukungku. Tes esok hari. SMART EI calon sekolahku. SDIT Baiturrahman. Dan banyak lagi. Menyudahi doaku, aku menyalami ibuku, mencium punggung tangannya yang lembut.
Tubuhku bergeser, membuka lembaran buku yang kubawa dari Bekasi, saat tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.
“Assalamu'alaikum,” panggil seseorang dari balik pintu.
“Wa'alaikumussalam,” jawabku.
Kubukakan pintu, dan tampaklah sosok yang kini sudah tak asing lagi, Pak Irwan. Beliau menyatakan niatnya untuk berpamitan kembali ke Bekasi. Padahal belum lagi 60 menit kami tiba di sini, ia sudah siap hendak kembali berkendara pulang. Benar-benar takkan kulupakan jasanya. Ibu menawarinya minum, tapi katanya ia sudah meneguk kopi. Ditawari pula membawa bekal makanan tapi katanya sudah ada. Ah, aku tersentuh. Betapa baiknya guruku ini.
Kami menyertainya ke lapangan parkir. Sekarang sekitar pukul 11.45 malam. Beliau telah menyalakan mesin sepeda motornya, lalu perlahan berangkat menerobos keheningan malam. Kupandangi sambil termenung, mengingat perjalananku diboncengnya sambil tidur berjam-jam namun tak terhindarkan pegalnya. Demikian juga yang dirasakan ibuku. Terpikir olehku bagaimana pula perasaan Pak Irwan ini. Tangan, pinggang, kaki, semua pasti terasa remuk dipaksa 5 jam bekerja tanpa henti. Padahal beliau belum sepenuhnya melemaskan anggota-anggota tubuhnya itu. Aku tahu mengapa ia memaksakan pulang malam ini juga, karena besok pagi-pagi ia harus mengajar mengaji di TPA Baiturrahman. Benar-benar guru yang berdedikasi. Bersama ibu, aku kembali ke kamar. Sudah ingin sekali aku merebahkan diri di atas kasur. Rasanya ada tarikan dari arah bantal di sudut itu. Dengan mengucap doa sebelum tidur, bismillah, aku pun terlelap.
Suara adzan terdengar begitu dekat. Asholaatu khoirumminannaum.... Adzan subuh rupanya telah berkumandang. Pak Syaifuddin mengetuk pintu, membangunkan kami. Ibu telah siap, dan aku pun segera ke kamar mandi, membuang air dan berwudhu. Ibu kembali menjadi imam sholat subuh kami.
Usai sholat, aku melangkah keluar. Ingin kutengok indahnya pagi di bumi Bogor ini. Semoga soal-soal yang nanti kuhadapi dapat kulalui dengan mudah. Aku berharap demi dua orang yang semalaman mengarungi malam bersamaku: ibuku yang selalu ada di setiap langkahku, dan Pak Irwan, guru luar biasa yang rela menempuh perjalanan 10 jam di atas sepeda motornya. Pengorbanan beliau takkan pernah terhapus dari memoriku. Terimakasih Pak Irwan.
Bogor, September 2008
Iyas Abdurrohman