... Dalam filsafat, atau agama, atau etika, atau politika,
dua tambah dua mungkin sama dengan lima,
tetapi ketika orang merancang senjata atau pesawat terbang, dua tambah dua harus empat.
George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1949)
Di SMART Ekselensia Indonesia, tempat saya mengajar sejak dua tahun lalu, saat ini ada 174 siswa yang haus meneguk pengetahuan dari cawan milik sekolah. Cawan itu tak hanya ada di ruang kelas lewat susunan kurikulum masing-masing guru, tapi juga di ruang perpustakaan yang koleksinya lebih dari 5000 judul buku, dari segala subyek. Ada buku-buku teks pelajaran, juga ada buku biografi, sejarah, ilmu pengetahuan populer, keterampilan, kesehatan, olahraga, musik, psikologi, hingga sastra dan komik. Sungguh tempat yang sangat potensial jika kita berharap bisa memberdayakan umat agar mandiri untuk masa depannya.
Tengoklah isi rak-rak buku di ruang perpustakaan ini. Secara acak, ambil satu buku dari sembarang rak, dan kita bisa tentukan seberapa dicintainya buku ini oleh pembaca. Buku-buku di rak yang sebagian besar masih mulus, rapi, jarang berpindah, dan begitu sedikit kartu peminjam di bagian belakangnya tergores sebuah nama, merupakan tanda buku ini kurang dicintai pembaca yang sayang untuk menyentuh dan membawanya. Dan sebaliknya, ada buku-buku yang sampulnya lusuh walau terbungkus plastik, ujung-ujung halamannya keriting, atas dan bawah. Puluhan nama siswa bergiliran tertera sebagai peminjam di kartu peminjamannya. Inilah buku yang disukai pembaca, menawarkan keasyikan menikmatinya.
Nama-nama siswa di kartu peminjaman ribuan buku itu menjadi tanda betapa banyak siswa SMART EI yang begitu mencintai buku. Ada puluhan siswa yang selama satu bulan bisa meminjam belasan buku. Memang sebagian ”buku-buku laris” itu adalah buku fiksi atau buku populer. Namun itu sudah menjadi hal yang patut juga disyukuri karena berarti para siswa bersedia meluaskan wawasan dengan membaca.
Hal sebaliknya terjadi saat mencari nama-nama guru yang tercatat reguler sebagai pembaca buku perpustakaan. Sangat sulit menemukan sepuluh nama guru, misalnya, yang dengan teratur memiliki catatan peminjaman buku lebih dari lima judul per bulan. Jikalau ada, ternyata buku-buku yang dipinjam lebih sering adalah buku yang termasuk ”teacher's resources”, atau yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya.
Kebiasaan membaca rupanya masih belum berakar di kalangan guru yang berkarya di Bumi Pengembangan Insani. Bila dibandingkan dengan semangat membaca yang dimiliki para siswa maka kesenjangannya benar-benar terlihat. Ambil contoh, buku inspirasional karangan Andrea Hirata yang paling laris penjualannya di Indonesia dalam empat tahun terakhir, Laskar Pelangi. Empat eksemplar buku ini dimiliki oleh perpustakaan SMART EI, masih laris diantri oleh siswa. Namun guru-guru mereka yang telah menuntaskan membaca novel setebal 530 halaman itu, mungkin tak lebih dari sepertiga jumlahnya.
Jangan lagi bertanya, berapa guru yang tahu atau pernah membaca Sophie's World, sebuah karya filsafat yang mendunia dari Jostein Gaarder atau karya klasik Harper Lee yang lebih dari lima puluh tahun masih dibaca anak-anak sekolah di Amerika Serikat, To Kill a Mockingbird. Dua buku ini edisi bahasa Indonesianya sudah terbit dan menjadi koleksi perpustakaan SMART EI. Atau silakan beri pilihan jawaban bebas kepada para guru ini, tanyakan berapa jumlah buku yang dimiliki dan dibacanya dalam satu tahun terakhir. Tidak hanya buku-buku yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya, melainkan juga buku-buku umum dan populer. Silakan juga tidak percaya, namun akan ada saja guru yang sudah sekian lama tidak lagi membaca buku-buku yang terkait dengan mata pelajaran yang diampunya, sehingga bahan ajar yang diberikan kepada para siswa hanya berupa ilmu peninggalan masa lampau. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pun dibuat hanya dengan mengganti tahun pelaksanaan.
Jika guru bersangkutan juga tidak memperkaya pengetahuannya dengan buku-buku pengembangan kurikulum, berarti ilmu yang diajarkannya sudah tidak selaras lagi dengan tuntutan perkembangan saat ini. Silakan bayangkan sendiri, seperti apa produk pendidikan yang dihasilkan oleh guru yang kurang membaca semacam ini. Wajar, ”guru yang tidak suka membaca” menjadi salah satu catatan pemuda Izza sebagai hal yang tidak mengembangkan pendidikan di sekolahnya.
Izza, lengkapnya Muhammad Izza Ahsin Sidqi, remaja yang telah menulis buku Dunia Tanpa Sekolah (2007). Saya belum pernah membaca buku itu, jadi tak bisa berkomentar mengenai isinya. Namun saya tertarik pada sedikit biografi Izza yang saya baca dari sebuah web-blog. Penulis muda kelahiran tahun 1991 ini memilih untuk tidak lulus dari sebuah SMP favorit di sebuah kota di Jawa Tengah. Sejak tahun 2006 ia dibebaskan oleh orangtuanya melepaskan diri dari sekolah formal. Alasan Izza, sekolah lamanya itu “lambat memintarkan”, guru-gurunya “konservatif, pemarah, dan tidak suka membaca”, juga menerapkan “berbagai aturan sekolah yang membelenggu kemauan belajar”. Izza yang konon berkemauan keras menjadi penulis profesional, merasa lebih baik berguru pada ratusan jilid buku yang sudah dibacanya sejak kecil. Ilmu bisa datang tanpa sekolah, demikian prinsip Izza.
Secara pribadi saya tidak melihat ada kesalahan pada pemikiran Izza. Saya malah kagum, remaja ini sudah membaca begitu banyak, lebih dari 600 buku populer maupun klasik. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer hingga tujuh seri Harry Potter. Sangat hebat tentunya, karena dia bisa mengambil ilmu dari apa-apa yang dibacanya. Hebatnya malah sampai dua perkara. Pertama, seorang remaja bisa memiliki hobi membaca yang mengalahkan hobi menonton televisi dan permainan komputer seperti jamaknya remaja zaman sekarang. Kedua, sungguh membaca itu bukan pekerjaan mudah, buktinya banyak orang membaca, orang dewasa sekalipun, tapi tak menghasilkan apa-apa.
Saya bisa melihat Izza bagai seorang yang tak putus belajar dari buku-buku yang berbicara ramah padanya, dari guru-guru tak tampak yang tak pernah memarahinya. Semua buku dan guru itu bermurah hati memberi semua yang mereka punya, meninggalkan jejak ilmu yang berebut-rebut tempat di kepala pembacanya. Alhasil, pembaca yang tak kuat pasti semaput.
Hal ini dalam pikiran saya paling mungkin telah terjadi pada seorang Izza. Dia merasa telah menguasai jejak-jejak ilmu yang datang padanya. Ia kemudian bertindak sesuai titah guru idolanya itu. Bebaskan dirimu, raih cita-citamu, lepaskan sekolahmu. Sebagai seorang guru di institusi sekolah formal, saya tertegun membaca jalan hidup Izza. Betapa perasaan saya akan tertusuk bila ada siswa yang saya ajar memutuskan keluar karena tidak menikmati belajar di tempat saya menikmati mengajar. Betapa hati saya akan terluka jika seorang siswa tidak bersedia menyerap ilmu yang saya tawarkan. Lebih jauh lagi, batin saya terguncang manakala siswa tersebut mencerca seluruh institusi pendidikan formal sebagai penjaranya, lahir batin.
Banyak hal yang bisa jadi penyebab siswa berpotensi seperti Izza memutuskan pamit dari sekolah. Namun entah kenapa, saya malah terkenang potongan kalimat dari novel karya terakhir George Orwell, Nineteen Eighty-Four di atas. Kalimat yang lagi-lagi membuat saya berkhayal: bayangkan guru yang tidak membaca dikelilingi oleh siswa-siswa ”gila baca”. Sang guru tak akan bisa menjelaskan, mengapa ada cabang ilmu yang mengajarkan bahwa ”dua tambah dua tidak sama dengan empat”.
Jika guru banyak membaca berbagai hal niscaya ia bisa jadi penerang bagi kegalauan siswanya. Saya percaya bahwa untuk tingkatan sekolah menengah, siswa masih sangat perlu dibimbing menuju masa depan. Sebutlah ketika dalam Pendidikan Agama Islam telah diajarkan bahwa seorang muslim tidak dibenarkan menikah dengan non-muslim. Padahal dalam cerita buku yang dibaca siswa, pernikahan pasangan beda keyakinan itu dijalankan oleh tokoh “jagoan” dan digambarkan tanpa tentangan berarti. Siswa bisa saja mengambil hal yang dianggapnya lebih menyenangkan baginya sebagai pedoman, jika guru tidak tanggap dan menjelaskan lebih jauh perkara tersebut dengan pendekatan yang bisa diterima siswa.
Seorang guru geografi misalnya, saat mengajarkan perairan dan terusan di dunia, sering luput menjelaskan bagaimana Terusan Suez yang diperebutkan Inggris dan Perancis kemudian dinasionalisasi oleh pemimpin Mesir Gamal Abdul Nasser. Guru bahasa Inggris yang hafal aneka irregular verbs jarang yang mengerti riwayat kamus bahasa Inggris pertama yang otoritatif, Oxford English Dictionary, belum tentu akan terwujud tanpa bantuan William C. Minor, akademisi yang menghuni Rumah Sakit Jiwa Broadmoor. Guru-guru seperti ini akan kelabakan jika ada siswa menyimpang sedikit saja dari rancangan kurikulum yang telah disusunnya itu.
Kita tentunya tidak mengharapkan seorang siswa yang potensial macam Izza menyusul memalingkan muka pada pendidikan formal. Sudah waktunya semua bacaan luar biasa di perpustakaan SMART EI dibaca bersama oleh guru dan siswa, hingga menciptakan situasi pemberdayaan bagi masa depan civitas academica SMART EI.
Ditulis untuk Lomba Esai LPI menyambut Hari Pendidikan Nasional 2009