“Hyaaa... Iwan Fals lagi,”
celetuk Dian, siswa kelas 2A asal Medan begitu membuka lembar kerja
yang saya siapkan untuk dibahas bersama kelompoknya, pertengahan
Desember lalu. Teman-teman sekelasnya ikut bersemangat mengamati
lembaran kertas di meja mereka, menebak-nebak kata di bagian yang
kosong. Sebagian lagi, mencoba merangkai nada, meniru Bang Iwan -sok akrab-,
“sahabat baik” kami dalam pembelajaran IPS Terpadu semester
ganjil 2012/2012 ini.
Iwan Fals, "guru tamu" kelas IPS SMP SMART EI |
Iya nih, nampaknya tinggal
tunggu waktu hingga Iwan Fals saja yang sebaiknya datang menggantikan
saya mengajar di kelas ini, hehehe... Sudah empat buah lagunya saya
pinjam untuk menjadi pengantar dalam membahas materi kelas 2 SMP
SMART EI semester ini. Saat membahas masalah ketenagakerjaan, saya
pakai lagu “Sarjana Muda” agar siswa-siswa cerdas dari berbagai
penjuru nusantara ini bisa menghayati betapa ijazah pendidikan formal
bukanlah lagi merupakan senjata ampuh untuk memperoleh pekerjaan yang
diidamkan.
Masih dalam bab ketenagakerjaan,
balada si Budi kecil yang menggigil dalam “Sore Tugu Pancoran”
juga saya pernah putarkan untuk mengingatkan betapa banyak siswa
mungil seumur Dian, Rozak, Indra, dkk di luar sana yang harus
berjuang keras sendiri agar bisa mendapat makan setiap hari,
sekaligus agar bisa mendapat ilmu di sekolah. Sebuah gambaran nasib
anak bangsa yang belum juga membaik bahkan setelah enam orang
presiden silih berganti menjadi pemimpin republik ini.
Bulan Oktober lalu, kami sama2
mendengarkan lagu Bang Iwan berikutnya, “Surat untuk Wakil Rakyat”,
saat materi Pendidikan Kewarganegaraan memasuki bab Demokrasi. Iya,
gambaran mengenai para wakil rakyat yang terhormat pada masa Orde
Baru seperti digambarkan Bang Iwan, kok ya ternyata masih sama saja
keadaannya di orde yang mengusung kata reformasi kini. Wakil rakyat
yang seharusnya merakyat, malah berlomba pamer Hummer, Alphard, dan
Bentley. Jadi apanya yang direformasi? Tingkat kesejahteraan anggota
dewan saja, ya??? *ngomel2 sendiri mumpung ga ada anggota dewan*
Dan sekarang masuk materi
terakhir pembelajaran kami, materi kelas IX mengenai Perubahan Sosial
Budaya. Pada pertemuan sebelumnya, kami telah sama2 menelaah
pengertian, aspek2 serta faktor2 pendorong atau penghambat perubahan
sosial budaya. Lembar kerja saya bagikan untuk tiap kelompok, suara
harmonika yang mengantar lagu Bang Iwan, “Ujung Aspal Pondok Gede”
membahana di dalam kelas begitu lagu ini saya putarkan.
Di dalam kelas,
kelompok-kelompok siswa yang terdiri dari empat orang, nampak seperti
beradu telinga berusaha menangkap dengan baik suara penyanyi balada
yang agak serak-serak gimanaa gitu
ini. Dan seperti biasa, puisi sosial Bang Iwan kembali menyihir
kami...
Bener, lho. Nggak bohong. Semua
siswa -dan gurunya ini tentu saja- terdiam saat lagu mengalun. Kok ya
seperti kami melayang ke kampung halaman kami, walaupun nama kampung
kami bukan Ujung Aspal Pondok Gede. Bagai tergambar masa kecil
bersama ayah dan ibu di sebuah kampung yang tadinya asri, bermain
bersama kawan2 di tanah lapang depan masjid... yang kini tinggal
kenangan. Kampung jadi terasa panas karena pembangunan pabrik yang
merajalela, lengang ditinggal penduduknya, sesak dengan kedatangan
para cukong yang mengambilalih desa...
Eh, kok jadi curhat sendiri :).
Putaran pertama lagu berakhir, dan serentak seisi kelas menghembuskan
nafas. Beberapa siswa bagai masih larut dalam kisah dusun Ujung Aspal
Pondok Gede, pandangannya terlihat menerawang. Dan seperti yang
sudah2, ada paduan suara tidak serempak, “Ulang lagunya,
ustadzah...”. Oke, saya putar ulang. Sampai dua kali malah, sambil
mereka akhirnya selesai mengisi bagian kosong dalam teks lagu dan
mengerjakan pertanyaan dalam lembar kerja.
Kami mencocokkan bagian hilang
dalam lagu. Eh, kok masih ada yang salah dengar. Teks yang seharusnya
“... samping rumah wakil Pak Lurah”, ditulis “... wakil Pak
Umar.” Mungkin karena di kelas 2A ini ada Umar siswa asal Tangerang
:p. Diskusi menyusul kemudian dengan tiap kelompok membacakan jawaban
mereka dan mempertahankannya dari “serangan” kelompok lain yang
tidak sependapat.
Sekali lagi Bang Iwan Fals dan
lagu2nya, menjadi sangat berjasa bagi saya dan para siswa SMART EI
tahun ini memahami kondisi sosial Indonesia dengan lebih baik
dibandingkan dengan hanya membaca buku panduan. Para siswa jadi
mendapat pengetahuan baru, bahwa lagu yang asyik dan abadi tak harus
mengenai cinta2an manusia berbeda jenis kelamin. Cinta pada bangsa
yang sedang berantakan ini pun bisa jadi hiburan dan sumber
penghasilan *lho?*
“Semester Iwan Fals” di
kelas 2 SMART EI sudah berakhir, sekarang sudah Januari, musim
liburan sekolah. Para siswa yang diajar bang Iwan juga sedang di
kampung halaman masing2. Minggu lalu saat saya dalam perjalanan naik
Sancaka pagi ke Yogya dari Surabaya, dapat pesan singkat dari Iyas,
siswa kelas 5 yang tinggal di Bekasi. Katanya, ia sedang naik bus
sendirian ke Bogor menengok neneknya. Titip salam ya buat nenek,
balas saya.
Titip salam buat pengamen bus
ini, ga? Balas Iyas lagi. Memang penting, ya? Kejar saya
agak bingung.
Pengamen ini kayaknya
temannya ustadzah Vera, karena dia nyanyiin lagu2 Iwan Fals,
sahut Iyas.
Baiklah, ini info tambahan, Iyas
adalah siswa kelas 5 yang lumayan akrab dengan adik2 di kelas 2.
Penting, ga? :)
Aduh, bukannya itu sudah sejak Semester 1 y?
ReplyDeleteLhoh, memang iya kan... Pelajaran kita bersama bang Iwan semester ganjil kemarin :)
ReplyDelete