Sunday, October 26, 2014

Persembahan bagi Pahlawan Musik Indonesia (Bagian 2)

Kisah ini berhubungan dengan kegiatan belajar Sejarah di kelas 5 IPS SMA SMART Ekselensia Indonesia yang di antaranya diisi dengan menyanyikan lagu karya maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki dan Gesang.

Jam pelajaran Sejarah di kelas 5 IPS diberikan sebanyak 4 jam seminggu, sementara di kelas 5 IPA hanya 1 jam seminggu. Biasanya di kelas IPA kami lebih sering mengulang materi pelajaran Sejarah SMA dari kelas 3, sebagai persiapan ujian sekolah di akhir tahun ajaran. Kami sama2 membahas soal2 yang banyak terlupakan karena saat mereka kelas 4 tidak ada jam pelajaran Sejarah. Kadang saya putarkan juga video pendek yang berhubungan dengan materi yang dibahas, namun secara garis besar, kelas ini tetap bersemangat menjalani pembelajaran yang santai ini.

Bulan lalu, kegiatan pembelajaran kelas bernyanyi yang saya jalankan di kelas tetangga, tak luput dari pengetahuan siswa kelas 5 IPA. Ada dari mereka bertanya, kok kelas ini tidak bernyanyi juga di jam pelajaran Sejarah? Saat itu saya jawab, kelas sebelah punya jam belajar lebih banyak, di sini kan kita mengulang materi dalam waktu terbatas. Itu saja, sudah. Mereka cukup puas dan tidak bertanya lebih lanjut.

Beberapa musim berganti... Bukan. Hanya beberapa minggu berselang, sebenarnya.

Sekolah kami punya kegiatan tahunan yang cukup besar dan melibatkan seluruh komponen sekolah, yaitu Olimpiade Humaniora Nusantara (#OHARA2014). Tahun ini diadakan pada 21-22 Oktober 2014, dengan komando dipegang oleh Ustad Eko guru olahraga. Makin mendekatnya penyelenggaraan acara ini, saya terpikir untuk ikut mengisi panggung. Bukan, bukan saya yang akan bernyanyi atau menampilkan sulap, melainkan para siswa dari kelas Sejarah.

Acara dengan peserta para siswa dan guru dari berbagai sekolah ini, dalam pikiran saya, sangat strategis untuk mengenalkan kembali karya2 dari musisi terkemuka di masa perjuangan kemerdekaan dulu. Gambaran ketidaktahuan para siswa SMART EI tentang siapa itu Ismail Marzuki atau Gesang atau seniman lain dan karya2 mereka, siapa tahu juga terdapat di sekolah lain. Maka saya pun berhasrat agar di panggung #OHARA2014 nanti terselip pula penampilan siswa SMART EI membawakan lagu2 sarat pesan dan sejarah yang sudah lama tak didengar masyarakat ini.

Ustadzah Dini teman seruangan saya merupakan penanggungjawab panggung acara #OHARA2014. Beliau setuju memasukkan penampilan lagu di masa perjuangan itu di panggung. Berikutnya adalah menentukan sang penampil. Baru saja saya sampaikan ide ini pada suatu hari Senin di depan kelas IPS (yang sebenarnya punya siswa bersuara emas), sambutan meriah langsung saya dapatkan secara tidak serentak: "Enggak mauuuu... Ogaaaaah.... Maluuuuu..." dan sebagainya. Dibujuk2 pakai permen atau balon tidak mempan; dikitik2 pakai bulu ayam, saya yang ogah, hehe...

Huh. Ya sudah. Saya menanti keesokan harinya, Selasa pagi, saat siswa2 kelas IPA memasuki kelas. Di sini ide bersambut baik, apalagi kelas ini punya grup band akustik (dengan manajer ustadzah Vera :p) yang sering tampil di aneka lomba di luar sekolah. Nama band ini PassFour, dengan empat anggotanya adalah Fadhli, Dian, Karunia dan Robby. Keempat lagu saya sodorkan, mereka segera berlatih.

PassFour berlatih di kelas Sejarah

Gladi kotor di aula

Alhamdulillah. Persiapan cukup. Tinggal tunggu hari H.

Karunia, Fadhli, Dian dan Robby, menyamakan nada sebelum naik panggung

PassFour diajak foto bareng oleh Abang Jampang :)


Hari H, #OHARA2014 tiba. Penampilan PassFour (yang di hari pertama dibantu narasi oleh Fajar), cukup menarik perhatian, terutama karena lagu jadul yang mereka bawakan jarang didengar telinga anak muda zaman sekarang. Kalau buat saya, penampilan mereka kereeen... (iya, subjektif banget!) karena akhirnya di antara terpaan lagu2 Taylor Swift, Maroon 5, atau Adera yang biasanya akrab di telinga, romansa tahun 1940an bisa hadir. 

Romansa yang bukan hanya tentang keindahan wajah sang Juwita Malam atau wajah pemilik sepasang mata bola, namun juga salam perjuangan dari Stasiun Jatinegara dan kesyahduan Bengawan Solo...

Terima kasih para musisi pejuang. Semoga romansa ini bisa lestari hingga anak cucu kami nanti.

No comments:

Post a Comment