Friday, October 17, 2014

Persembahan bagi Pahlawan Musik Indonesia (Bagian 1)

Suatu pagi sebuah lagu mengalun syahdu. "... Melambai-lambai... Nyiur di pantai..." dan sekonyong-konyong muncul "kuis" di tengah para pendengar alunan lagu tersebut.

"Ini lagu judulnya apa, ya?"
"Aduuh lupa... Tapi ini dulu lagu penutup siaran TVRI setiap malam."
"Waduuuh... Saya kok ga tau, ya?"

Mohon perhatian sebentar, Saudara2. Para pendengar dan komentator di atas adalah sekumpulan guru di sekolah menengah, dengan usia rata2 tiga puluh tahun, terhitung orang dewasa yang sempat mengalami masa ketika Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi satu2nya stasiun pemancar siaran televisi di tanah air. Dengan ketiadaan saingan, tentu semua siaran TVRI diserap oleh segenap lapisan masyarakat, dari berita2nya, artis2nya, dan lagu2 yang disiarkan.

Tapi kali ini saya tidak ingin menulis tentang TVRI atau siaran2nya. Saya tergelitik saat ternyata teman2 seangkatan saya di atas ternyata masih harus menebak2 judul lagu "Rayuan Pulau Kelapa" yang dulu nyaris tiap hari kami dengar baik melalui TVRI maupun RRI. Kalau judulnya saja masih perlu tebak-menebak, bagaimana dengan nama penciptanya, ya? Juga kalau generasi di atas 30 tahun mulai melupa, apa kabar dengan generasi yang belum mencapai 20 tahun, ya?

Atas pertimbangan2 ini, saya jadi kepingin menghadirkan suasana nostalgia a la masa awal kemerdekaan di kelas Sejarah yang saya ampu di SMA SMART Ekselensia Indonesia. Pas banget (atau saya pas2kan lah :p), materi belajar kami di kelas 5 IPS adalah tentang situasi Indonesia di awal kemerdekaan. Jika buku teks lebih banyak mengambarkan situasi sosial-politik-keamanan, maka saya membawa sebuah majalah Intisari edisi tahun 1990an. Di dalamnya ada artikel tentang komponis Gesang, yang mencipta puluhan lagu berlanggam keroncong, namun namanya masyhur hingga ke berbagai negara lewat lagu legendaris "Bengawan Solo".

Sengaja saya rancang materi ini menjadi materi bernyanyi. Tentu yang menyanyi adalah para siswa agar gratis, kalau saya kan minta honor tambahan, hehe... Selain agar suasana belajar santai dan tidak bosan, juga agar para siswa dengan rentang usia 16-18 tahun ini sadar, bahwa musik atau lagu2 tidak semata diciptakan dalam keadaan santai saat negara damai atau dalam mood cinta2an pada lawan jenis. Dua orang maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki dan Gesang, menjadi dua tokoh seniman yang karya ciptanya tetap menggugah hingga kini.

Langkah belajar kelas bernyanyi ini adalah sebagai berikut: Pertama, kelas dengan jumlah siswa 18 orang ini saya bagi menjadi empat kelompok. Masing2 kelompok mengambil kertas undian dengan tulisan judul lagu: "Bengawan Solo", "Jembatan Merah", "Sepasang Mata Bola", dan "Juwita Malam". Bisa ditebak, sangat sedikit siswa SMA zaman sekarang yang tahu judul2 tersebut, apalagi tahu lagunya.

Seorang siswa yang kelompoknya mendapat undian untuk lagu Ismail Marzuki, "Sepasang Mata Bola", malah sempat protes. "Ustadzah nggak salah nulis, nih? Bukannya 'Sepasang Bola Mata'?" Mendengar ucapan itu, malah sepasang bola mata saya yang memutar ke atas. Capek, deeeh...

Langkah kedua, kepada tiap kelompok saya beri lembar kerja. Hanya ada tiga pertanyaan untuk diisi pada lembar kerja itu: tulisan lirik lagu, latar belakang penulisan lagu, serta dampak publikasi lagu tersebut bagi bangsa Indonesia dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Semua pertanyaan ini tidak ada nilai benar atau salah, semua jawaban saya terima sebagai proses belajar. Bahkan mereka saya izinkan mencari bantuan kepada ustad/ustadzah pengajar lain di lingkungan sekolah untuk mencari jawabannya.

Rupanya jawaban atas pertanyaan pertama yang mereka anggap bikin susah. Karena sebagian besar siswa merasa belum pernah mendengar lagu2 tersebut seumur hidup mereka, maka saya hubungkan Embi si laptop saya dengan situs Youtube, mencari penampil dengan lagu2 tersebut untuk disaksikan bersama. Untuk lagu "Jembatan Merah" dan "Sepasang Mata Bola", kami menonton penampilan penyanyi keroncong nasional; lagu "Juwita Malam" ternyata pernah direkam dan dibuat video klipnya oleh grup band Slank; sementara video lagu "Bengawan Solo" yang saya tampilkan membuat para siswa terpukau karena dinyanyikan oleh seorang bule Belanda dengan cukup fasih bersama iringan gitar akustiknya.

Baik, sekarang tidak ada alasan tiap kelompok untuk tidak bisa mengisi lembar kerja. Langkah ketiga adalah penampilan para siswa ini dalam kelompok dengan lagu yang menjadi jatah masing2. Dalam tahap ini, terjadi pergolakan lahir dan batin. Banyak siswa yang menolak penampilan mereka direkam dalam bentuk video. Bisa jadi sebagian khawatir jika video itu saya unggah ke YouTube, akan menjadi awal kesuksesan karir musik mereka dan menyebabkan mereka tidak bisa konsentrasi menempuh ujian nasional untuk kelulusan dari SMA semester depan, huehehe...

Oke, oke... Kami pun berkompromi. Mereka tetap harus berlatih membawakan lagu mereka dengan alat musik pilihan yang ada di ruang musik dan tetap akan direkam, namun tanpa menampilkan wajah dengan jelas. Dua kelompok, yaitu Jajang dkk yang membawakan lagu "Juwita Malam" dan kelompok Somad dkk dengan lagu "Bengawan Solo" direkam oleh saya, minggu kedua September lalu. Sementara untuk pertemuan berikutnya, karena saya ada tugas keluar sekolah, ustadzah Dini yang membantu merekam kelompok Fardin dkk dengan lagu "Jembatan Merah" serta kelompok Agung dkk dengan lagu "Sepasang Mata Bola".

Kelompok Jajang, Andi, Johan, Rofi dan Iqbal bersiap melantunkan "Juwita Malam"
Demikianlah, kisah pertama persembahan kami bagi pahlawan musik Indonesia. Nantikan bagian keduanya, ya... Semoga bisa segera muncul, hehe...

No comments:

Post a Comment