Monday, July 1, 2013

Diam-diam Tak Sekadar Diam

Kira-kira satu tahun lalu...
Sore itu, saya memanggil anak2 kelas 2A dan terpaksa mengumumkan pembatalan rencana kami untuk masak bareng. Tadinya, sebagai salah satu bentuk quality time (cailaaah...), antara wali kelas dan murid2 kelasnya, kami akan masak2 bersama, membuat kue dadar alias crépe aneka isi sebagai pengisi waktu setelah ujian kenaikan kelas dan pengisian rapor.

"Maaf, ya. Minggu depan kita batal masak bareng kue dadar," ucap saya kepada Dian, Rozak, Somad, dkk, seusai solat ashar, di tangga masjid Al Insan.
"Ada apa, ustadzah? Kok batal?"

Saya jelaskan bahwa mulai esok harinya, saya harus pamit sepuluh hari mengikuti PLPG di Sukabumi. Sepanjang sepuluh hari di bulan Juni 2012 itu di sekolah bukan hanya anak2 kelas 2A yang terpaksa saya tinggal, melainkan juga ujian kenaikan kelas dan koreksian dua mata pelajaran yang saya pegang. Alhamdulillah, ustadzah Uci yang baik hati sebagai penanggungjawab kurikulum SMP SMART EI bersedia membantu mengganti tanggungjawab saya.

Dian dkk paham; izin kepsek sudah didapat; saya pun berangkat ke Sukabumi. Singkat cerita, PLPG usai (tidak perlu saya ceritakan di sini), dan saya pun kembali ke sekolah. Ujian kenaikan kelas saat itu sudah berakhir.

Materi terakhir IPS Terpadu bersama kelas 2 SMART EI tahun ajaran lalu.

Pagi Senin itu saat saya tiba dari Jakarta, upacara belum dimulai, lapangan depan sekolah masih sepi. Baru beberapa anak yang duduk di tepi lapangan, umumnya para siswa kelas 1 yang masih punya banyak stok "rajin datang awal ke sekolah".
Seorang siswa kelas 1 menghampiri sebelum saya naik ke ruangan saya di lantai 2.
"Assalamu'alaikum, ustadzah. Kok baru kelihatan?" sapanya ramah dengan mata berkilat2 di balik sepasang kacamatanya.
"Wa alaikum salam," balas saya, tertular senyumnya karena anak ini terlihat begitu gembira menyapa. Saya pun mengatakan bahwa saya baru usai menjalankan undangan pelatihan selama sepuluh hari bagi para guru di kawasan Sukabumi.
"Ooo begitu... Pantas saya cari hampir dua minggu, ustadzah nggak terlihat di sekolah."

"Kamu mencari saya? Ada apa?" Maafkan kepo saya yang kumat, sebab saya tidak mengajar kelas anak ini. Jadi cukup geer juga mengetahui ada anak kelas 1 yang cukup rajin "mencari" saya.
"Enggak, Zah. Nggak ada apa2," si ganteng berkulit gelap dan berkacamata ini mendadak salah tingkah. Dia pamit dan berlari ke sisi lapangan tempat teman2nya mulai datang dari asrama. Saya melanjutkan naik dan menyimpan tas saya di ruangan, masih dengan rasa geer ada anak kelas 1 yang memerhatikan ketidakhadiran saya di sekolah. Kalau yang memperhatikan hanya kepsek atau pihak HRD, tidak perlu geer, itu sih tugas mereka, hehe...

Hari berlanjut siang. Saat istirahat solat zuhur dan makan siang, seorang siswa penyendiri dari Sumatera duduk di pojok favoritnya yang terhalang tembok dari pandangan orang lewat. Dia siswa kelas 4, sudah SMA. Saya mengajarnya selama setahun saat dia masih kelas 2. Saat saya melintas hendak membelok ke arah tangga, dia muncul dan menyapa.
"Ustadzah Vera baru sakit, ya?" tanyanya.
"Alhamdulillah, enggak kok. Sehat terus. Kenapa, kok kamu mengira saya sakit?" Demikian guru kepo ini bertanya balik.
"Ooh... Nggak apa2. Saya kira sakit, karena lama nggak kelihatan di sekolah," jawab si rambut ikal bertubuh ramping ini. Nadanya seperti meminta penjelasan. Kembali saya beritahu ttg PLPG, Sukabumi, dll, sebagaimana cerita saya tadi pagi kepada adek kelas 1 SMP itu.

Kakak SMA kelas 4 ini mengangguk-angguk. "Saya baru tahu. Maaf, ustadzah. Saya kira ustadzah pindah kerja."
"Oh, tidak, kok. Kan hanya pelatihan berkala. Minggu depan juga ada ustad lain yang ikut pelatihan seperti ini," saya menyahut sambil menyebut nama seorang guru lain yang mendapat jadwal PLPG berikutnya.
Kakak ini mengangguk lagi. "Iya, alhamdulillah, ustadzah masih mengajar di sini," katanya. Sambil mengucap salam dia berbalik badan, menuju koridor depan lab komputer. Menjawab salamnya, sempat sekilas saya lihat dia tersenyum melangkah dengan gaya khasnya: kepala menunduk dan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Langkahnya saya pandangi dari belakang. Sebagian besar siswa dan guru masih berada di kantin bawah untuk makan siang. Sepertinya tidak ada satu pun orang yang saat itu melihat kening saya yang biasanya licin ini jadi berkerut (ahaaayyy...)

Iya, sambil naik tangga, saya memikirkan dua anak yang secara khusus menyapa saya hari ini, yang pernah saya ajar setahun di kelas, dan yang setahun berikutnya akan hadir di kelas saya. Di antara 180an siswa di SMART EI ini, mereka terhitung bukan siswa yang menonjol kehadirannya secara akademik. Kualitas baik yang setahu saya sama2 mereka miliki adalah sikap tenang dan tidak suka mengganggu orang lain. Karenanya mereka tergolong penyendiri... jarang diperhatikan guru atau teman.

Walau begitu, rupanya mereka tidak selalu menyendiri dan diam dengan diri sendiri. Diam2 mereka juga melihat dunia sekitar mereka. Diam2 membuat mereka sadar saat ada sesuatu yang hilang, walau yang "hilang" itu hanya saya yang ikut pelatihan selama sepuluh hari. Dan diam2 pun mereka punya keberanian dan kepedulian untuk menyapa, bertanya langsung, ada apa di balik menghilangnya saya.

Sebagai seorang guru tanpa jabatan struktural, hal seperti ini selalu bernilai besar bagi saya. Ada perasaan hangat yang mengalir di hati, karena diperhatikan oleh mereka, meski dari jauh. Semacam ada cinta tambahan dari sumber yang tidak disangka, energi penguat yang bisa diandalkan saat hati sedang gulana.

Ini memang kisah setahun lalu. Sekarang si adek kelas 1 baru saja naik ke kelas tiga, setahun lalu dia hadir di kelas saya masih dengan rasa riang yang sama, tanpa berisik menonjolkan diri di tengah teman2nya. Dia senang menggambar dan menulis,  dengan kemampuan menarasikan kisah yang mencekam.
Si kakak kelas 4, ah ya... Baru bulan lalu diwisuda sebagai lulusan angkatan 5 sekolah ini. Semester mendatang ia akan menempati kursinya di sebuah PTN di Jawa Barat, yang ia dapat melalui jalur undangan. Itu pun setelah sebelumnya guru2 pembimbingnya sempat mengkhawatirkan kemampuannya lulus Ujian Nasional. Sebuah kekhawatiran yang rupanya berlebihan. Semoga di kampus nanti ia bisa lebih meningkatkan empatinya, dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Karena dalam diam sebenarnya ia punya cukup banyak cinta bagi dunia.

No comments:

Post a Comment